Tiga Jawaban Manusia Saat Dunia Krisis Cinta
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dunia tengah dihadapkan dengan beragam persoalan dan pergumulan kemanusiaan yang pelik. Diskriminasi, penindasan, individualitas, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi di berbagai sisi dan sendi kehidupan. Fenomena ini dipandang Pdt Albertus Patty sebagai dunia yang tengah mengalami krisis cinta.
Dari dunia yang krisis cinta ini, Ketua IV Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tersebut menyampaikan orang tengah berlomba untuk dapat dicintai.
“Ketika ditanya siapakah Anda, ada tiga tipe jawaban manusia dalam dunia yang krisis cinta,” ujar dia saat menghadiri acara Persekutuan Inteligensia Sinar Kasih pada Jumat (23/1).
Jawaban pertama, orang akan mengatakan, “Saya adalah saya dengan apa yang telah saya lakukan.” Menurut laki-laki yang akrab disapa Berti ini, ketika orang tersebut tidak lagi dicintai, ia akan frustrasi.
Jawaban kedua adalah, “I am what other people said about me. Saya adalah apa yang orang katakan tentang saya. Orang berlomba untuk pencitraan. Orang bagaikan bunga yang dikelilingi oleh kumbang. Tapi jika tidak sanggup, dia akan merasa gagal dan no body atau bukan siapa-siapa,” Albertus menjelaskan.
Sementara itu, jawaban ketiga adalah “I am what I have atau saya adalah apa yang saya punyai.”
Berkompetisi untuk Mengasihi
Demi memperoleh pengakuan di tengah dunia, manusia akan selalu berusaha mencapainya dengan cara apa pun.
“Mereka yang gagal merasa tidak dicintai, seperti hidup dalam nihilisme,” kata Albertus Patty.
Manusia seharusnya tidak berkompetisi untuk memperebutkan kekuasaan, namun berkompetisi untuk mengasihi dan melayani.
Albertus Patty mengulas kisah ketika Yesus dicobai oleh iblis, mengubah batu menjadi roti, menjatuhkan diri, atau menyembah agar mendapat kekayaan. Yesus menyatakan itu semua adalah kebohongan besar. Iblis yang mencobai Yesus sama halnya dengan kehidupan duniawi yang menawarkan kekuasaan, kehormatan, dan kekayaan. Dalam keadaan seperti inilah manusia berebut untuk diakui dan dicintai sehingga dunia mengalami defisit cinta. Defisit cinta atau dunia yang krisis cinta adalah persoalan kemanusiaan.
“Krisis cinta adalah saat orang mendiskriminasi atas dasar kapitalisme, gender, dan lain sebagainya,” katanya.
Kapitalisme membuat manusia dipandang sebagai benda untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Meski kapitalisme membawa ‘keuntungan tertentu’ untuk negara-negara pengikutnya, kapitalisme juga mengingatkan manusia untuk berhati-hati mencintai uang.
“Dunia adalah kampung kecil. Kita bisa berinteraksi dengan siapa pun. Namun persoalannya hampir kita melihat sesama, tapi mereka tidak pernah menjadi bagian dari saudara kita. Kita dipanggil untuk menghargai sesama, menumbuhkan cinta dalam kehidupan. Kita hanya bisa mencintai siapa pun jika kita melihat mereka sebagai anak-anak Allah, apa pun agamanya, etnisnya, dan latar belakangnya,” kata Pdt Berti.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...