Yopi dan Manius: Berkarya dengan Hati
Merajut mimpi melalui pendidikan.
SATUHARAPAN.COM – Kisah tentang ketiadaan guru di pedalaman Papua sudah menjadi konsumsi harian. Banyak sekolah di wilayah yang sulit dijangkau lebih sering libur ketimbang belajarnya. Samenage adalah salah satu kisah di antara sekian kisah pedih itu. Ada tiga SD yang ada di distrik/Kecamatan Samenage Kabupaten Yahukimo. Ketiga sekolah ini memiliki kisah pilu yang sama, anak-anak tak bisa baca tulis karena selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, guru tidak datang ke sekolah.
Alasan umum, dan seolah diamini pemerintah, adalah wilayah seperti Samenage sangat sulit dijangkau dan terpencil. Tidak ada sinyal, tidak ada transportasi, tidak ada kios hingga tidak ada petugas kesehatan, kepala distrik dan kepala kampung. Semua hal itu hanya ada di kota. Untuk mencapai Samenage, dibutuhkan minimal dua hari berjalan kaki tanpa membawa barang untuk orang yang sudah terbiasa jalan. Jika tidak ingin berjalan kaki, kita harus rela merogoh saku hingga Rp 9 juta untuk terbang dari Wamena ke Samenage.
Sebagaimana di sekolah lain di wilayah pedalaman Papua, ada guru yang ditugaskan di sana. Namun, guru-guru itu hanyalah nama. Guru-guru itu tinggal di kota sambil menunggu jadwal penerimaan gaji, meski tetap mendapat gaji bulanan hingga insentif untuk daerah terpencil.
Tak seperti kebanyakan guru yang enggan ke daerah sulit seperti Samenage, Yopi Anus justru memohon agar dirinya ditempatkan di Samenage. Pria yang mendapat SK penempatan sebagai PNS di SDN Muroko Dekai ini meluangkan waktu mengajarnya di SDN Muroko untuk mengajar anak-anak di SDI Helenga Samenage. Meski harus mengorbankan sebagian dari gajinya untuk membayar tiket pesawat dari Dekai menuju Pasema, lalu berjalan kaki minimal 6 jam menuju Helenga, tidak menghalangi tekadnya untuk menolong anak-anak di Samenage.
Laki-laki berumur 27 tahun itu juga harus memikul beras hingga keperluan hidup hariannya di Samenage karena belum terbiasa makan hipere (ubi jalar). Namun, dirinya pernah harus bertahan selama seminggu dengan memakan hipere karena beras yang dibawanya telah habis.
Di Helenga-Samenage, Yopi terdorong untuk mengajarkan anak-anak sekolah mulai dari cara membaca dan menulis hingga bagaimana cara mandi dan mencuci pakaian. Meskipun akhirnya dirinya sadar bahwa anak-anak ini bukannya malas mandi, tetapi mereka tidak memiliki sabun untuk mandi. Pria asal Toraja ini sadar bahwa anak-anak di Samenage ternyata rajin mandi meskipun cuaca sangat dingin, namun tidak menggunakan sabun.
Sama halnya dengan Yopi, Manius Esema pun terpanggil untuk menjadi guru di Samenage. Manius yang berasal dari Samenage memutuskan untuk kembali ke kampung demi adik-adiknya yang cukup lama berlibur karena tidak ada guru. Sejak menyelesaikan kuliah keguruan di Wamena pada 2011, Manius tinggal di Wamena. Akan tetapi, setelah mendengar bahwa saat Paskah 2015 lalu tim Yayasan Teratai Hati Papua (YTHP) meminta agar para wenewolok (pewarta/katekis) untuk mengajarkan anak-anak di SDI Samenage, dirinya tidak tenang. Pergulatan panjang antara mencari uang di Wamena atau kembali ke kampung halaman untuk mengajar meskipun tanpa gaji digelutinya selama sebulan. Rasa cintanya pada adik-adik di SDI Samenage di Haleroma membuatnya memilih Samenagi.
Meski tidak digaji, Manius tetap setia mengajar seratus lebih anak. Dirinya bahkan harus mengorbankan sebagian besar waktunya bersama adik-adiknya. Sesekali, pria 28 tahun ini harus berjalan kaki ke Wamena untuk membeli peralatan tulis hingga sabun mandi untuk anak-anak. Meski harus memikul barang kebutuhan anak-anak SD, Manius tidak putus asa. Kecintaannya pada adik-adiknya mengatasi berbagai persoalan tersebut.
Yopi dan Manius adalah segelintir orang yang membaktikan dirinya untuk anak-anak Samenage. Mereka sungguh berkarya dengan hati.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Pemberontak Suriah: Kami Tak Mencari Konflik, Israel Tak Pun...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Pemimpin kelompok pemberontak Islamis Suriah, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), ...