2014, Tahun “Kutukan” Maskapai Komersial Malaysia?
Paradigma manusiawi mengatakan “kalau melanggar pasti kena kutuk”; “kalau salah pasti dihukum” atau “kalau menderita pasti karena penghukuman Tuhan”. Tapi teodisi atau hukum kausalitas ini tidak berlaku bagi Tuhan. Tuhan punya kuasa dan kebebasan untuk melakukan kehendak-Nya.
SATUHARAPAN.COM – Tahun 2014 ini terjadi tiga kali kecelakaan pesawat penumpang komersial yang berakibat banyak korban jiwa. Pertama, pada 8 Maret 2014 Malaysian Air MH 370 berpenumpang 239 hilang dalam penerbangan dari Kuala Lumpur menuju Beijing-Tiongkok. Sampai saat ini pesawat itu belum ditemukan. Sudah dapat dipastikan, seluruh penumpangnya sudah meninggal. Kedua, pada 17 Juli 2014, kembali pesawat Malaysian Air MH 17 berpenumpang 295 orang jurusan Amsterdam-Kuala Lumpur ditembak dan jatuh di Ukraina. Semua penumpang tewas. Terakhir, pada Minggu pagi, 28 Desember 2014, pesawat AirAsia QZ8501 jurusan Surabaya-Singapura berpenumpang 162 orang mengalami kecelakaan dan jatuh di laut sekitar kepulauan Karimata Kalimantan Tengah. Puing-puing dan beberapa korban atau penumpangnya ditemukan tiga hari setelah kecelakaan itu dan sampai saat ini pencarian pesawat dan para penumpangnya masih dilakukan. Dipastikan seluruh penumpangnya telah tewas.
Menanggapi kecelakaan beruntun pesawat dari perusahaan berbasis Malaysia itu, berbagai pertanyaan dan jawaban baik yang rasional dan “irasional’ atau lebih tepat suprarasional disampaikan. Apakah kecelakaan-kecelakaan di tahun yang sama itu adalah hal biasa atau tidak biasa? Mengapa Malaysian Air dan AirAsia yang sama-sama berbasis di Malaysia? Apakah penyebab kecelakaan-kecelakaan itu adalah biasa yaitu karena kekurangan atau kesalahan teknis atau manusiawi-human error, jadi kesalahan terletak pada pesawat dan Pilot? Apakah ada salah atau dosa dari Malaysia dan tahun 2014? Apakah tahun ini adalah tahun kutukan bagi perusahaan penerbangan berbasis Malaysia? Bagaimana memahami itu?
Ada berpendapat bahwa kecelakaan beruntun pesawat-pesawat dari perusahaan berbasis Malaysia di satu tahun itu adalah kebetulan. Kebetulan pesawat-pesawat itu mengalami kecelakaan dengan sebab-sebab alamiah biasa; apakah itu masalah teknis atau human error. Dari sudut pandang lain, dikatakan bahwa perusahaan-perusahaan penerbangan itu mengalami bad-luck atau nasib buruk. Menyangkut nasib buruk itu khususnya dihubungkan dengan AirAsia yang berada pada tahun ke-13 dari operasinya. Jadi angka 13 memang menjadi angka sial untuk AirAsia.
“Kutukan”
Bersamaan dengan paham “keramat’ yakni takhayul angka 13 tersebut, dari sudut pandang yang lebih radikal-keagamaan, musibah beruntun dan tahun 2014 itu dipercayai sebagai “kutukan”. Bahwa Tuhan “mengutuk” tahun 2014 bagi perusahaan penerbangan berbasis Malaysia, atau Tuhan mengutuk perusahaan-perusahaan itu di tahun 2014.
Kutukan adalah kenistaan, suatu pengalaman buruk yang dialami seseorang atau kelompok masyarakat akibat kesalahan atau dosa yang diperbuat. Kutukan adalah akibat nyata dari pelanggaran itu. Dalam agama kutukan menjadi hak dan tindakan Sang Ilahi, Yang Berkuasa, Tuhan, terhadap seseorang atau kelompok orang yang melanggar aturan atau larangan-Nya. Dalam masyarakat kita sering terdengar seseorang atau kelompok orang yang “mengutuk’ atau menyampaikan kata-kata kutukan terhadap seseorang atau kelompok yang melakukan perbuatan yang buruk atau jahat. Namun ketika kutukan terwujud, itu dipahami sebagai tindakan Tuhan.
Dalam kisah Sodom dan Gomora yang terdapat dalam kepercayaan agama Yahudi, Kristen dan Islam, memperlihatkan kutukan yang terjadi terhadap istri Lot yang menjadi tiang garam. Dalam masyarakat Minangkabau , Sumatera Barat, kita mengenal legenda Malin Kundang di mana terdapat cerita kutukan. Si Malin dikutuk menjadi batu karena ia menolak mengakui sang ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Jadi ada pelanggaran terhadap aturan, hukum atau etika di dalam hidup.
Antara Kutukan dan Kehendak Bebas Allah
Berbagai komentar positif yang diberikan terhadap pesawat-pesawat yang celaka dan maskapai pemiliknya menunjukkan bahwa kemungkinan kesalahan teknis dan manusia sebagai penyebab kecelakaan sangat minimal. Perusahaan-perusahaan berbasis Malaysia itu terkenal sangat mengutamakan safety atau keamanan dan keselamatan pesawat-pesawat dan penerbangannya. Juga pesawat-pesawat yang dioperasikan sudah berkategori canggih dan sangat aman sehingga dapat diandalkan di dalam menghadapi cuaca buruk. Berhubungan dengan itu, pilot-pilot yang dipekerjakan terbukti sudah berpengalaman dan bermutu dalam menerbangkan pesawat. Jadi paham “kutukan” di atas tidak dapat diberlakukan pada kecelakaan pesawat-pesawat perusahaan berbasis Malaysia tersebut.
Jika bukan karena “kutukan” akibat kekurangan atau kesalahan maka ajaran agama atau kepercayaan tentang Tuhan yang punya kekuasaan atau kekuatan dan berkehendak bebaslah yang menjadi penentu. Bahwa kecelakaan-kecelakaan yang tidak dapat dijelaskan dan dipahami dan dengan begitu banyak korban adalah kehendak Tuhan dan dengan itu Ia bermaksud menunjukkan kekuatan dan kuasa-Nya. Itu dipahami sebagai kehendak bebas Allah, yang melampaui kemampuan pertimbangan-pertimbangan umum manusia.
Paradigma manusiawi mengatakan “kalau melanggar pasti kena kutuk”; “kalau salah pasti dihukum” atau “kalau menderita pasti karena penghukuman Tuhan”. Tapi teodisi atau hukum kausalitas ini tidak berlaku bagi Tuhan. Tuhan punya kuasa dan kebebasan untuk melakukan kehendak-Nya. Kehendak bebas Tuhan ini tampak pada cerita tentang Ayub dalam kepercayaan Yahudi, Kristen dan Islam. Ayub tidak bersalah atau berdosa sedikit pun tetapi Tuhan membuat atau membiarkan dia menderita. Di sini Tuhan semata-mata mau menunjukkan kekuasaan dan kekuatan untuk melakukan kehendak-Nya. Jika Tuhan berkehendak, apa pun dapat terjadi, sekalipun itu membuat menderita Ayub, hamba-Nya yang tidak berdosa.
Tahun-Tahun ke Depan
Merenungkan kecelakaan-kecelakaan pesawat dan memahami kehendak bebas Tuhan di atas, sebagai precaution untuk menghindari bahaya, tentu hidup cerdas dan bijak diperlukan. Kemampuan untuk melihat dan menyiasati potensi-potensi bahaya dalam hidup perlu ada. Untuk itu, harus ada pendidikan atau pemberian pengetahuan dan keahlian yang tidak hanya memadai tetapi bermutu tinggi. Namun, kita juga tidak “mendewakan” kehebatan manusia dan hasil ciptaannya. Sebab, secanggih apa pun seperti pesawat Malaysian Air dan AirAsia tetapi tetap tidak mampu menghadapi kekuatan dan kekuasaan Tuhan.
Akhirnya, tetaplah mempertimbangkan dan mengandalkan Tuhan dan kekuatan-Nya, serta berserah pasrah kepada-Nya. Tetapi juga minta agar Ia tidak menunjukkan kekuasaan dan kekuatan destruktif-Nya.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...