Gerakan Anti-Islam di Eropa Meningkat
Saat ini, Eropa mengalami banjir imigran Muslim. Akibatnya, banyak orang berpendapat bahwa dalam waktu lima puluhan tahun ke depan, Eropa akan dihuni oleh 50% bangsa Eropa kulit putih dan 50% imigran-Muslim, dan dalam 100 tahun, orang Eropa hanya akan berjumlah 20%.
SATUHARAPAN.COM – Demo anti-Islam atau anti-islamisasi di kota-kota di Jerman makin banyak dilakukan. Awal demo dimulai di Dresden dengan beberapa ribu orang. Kemudian demo juga diselenggarakan di kota-kota lain seperti Dusseldorf dan Koln. Jumlah pendemo meningkat sangat besar hanya dalam beberapa bulan sejak diadakan di Dresden pada Oktober 2014; dari hanya sekitar beberapa ribu, meningkat menjadi belasan ribu dan kemudian menjadi berkisar 20-an ribu orang.
Demo anti-islamisasi Barat ini dipelopori dan dimobilisasi oleh Pegida (Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes) atau Patriot Eropa Melawan Islamisasi Barat yang didirikan Lutz Bachmann dan berpusat di Dresden Jerman. Pegida menyelenggarakan demo satu kali seminggu yaitu setiap Senin. Sampai demo terakhir, Senin, 5 Januari 2015, tidak pernah ada tindakan kekerasan yang menyebabkan korban. Juga tidak ada perusakan gedung atau pusat kegiatan umat Islam.
Di Eropa secara umum sedang meningkat gerakan anti-Islam. Berbagai tindakan kekerasan terhadap pusat kegiatan orang Islam sering terjadi terutama sejak 2012. Penyerangan terhadap masjid seperti melempar dengan telur, menempatkan kepala babi di pintu dan dalam masjid, pembakaran masjid terjadi di berbagai kota di negara-negara Eropa, seperti di Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Jerman, Austria dan Denmark. Terakhir pembakaran masjid di kota Eskilstuna di Swedia pada 25 Desember 2014. Padahal, negara-negara Scandinavia, yaitu Denmark, Swedia dan Finlandia selama ini terkenal sebagai negara yang sangat toleran dan menerima banyak pengungsi dan imigran.
Anti-Imigran Sama dengan Anti-Islam
Gerakan anti-Islam mulai menonjol setelah peristiwa serangan Al-Qaeda terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001. Namun gerakan anti-Islam dan serangan-serangan yang terjadi di Eropa makin intensif setelah membanjirnya pengungsi dan imigran gelap dari daerah konflik di negara-negara Islam di Afrika Utara (Tunisia, Mesir dan Libya), Timur Tengah (Palestina, Suriah dan Irak), dan Asia Tengah-Selatan (Pakistan dan Afghanistan), serta di Afrika Tengah-Timur (Sudan, Nigeria dan Somalia).
Kebanjiran pengungsi dan atau imigran tentu menyebabkan banyak soal dalam masyarakat. Masalah ekonomi adalah banyaknya dana yang harus dikeluarkan negara untuk pembiayaan para pendatang baru itu. Banyak keluhan masyarakat, bahwa uang pajak yang mereka bayarkan dipergunakan untuk membiayai orang-orang yang menimbulkan persoalan. Masalah sosial budaya juga timbul akibat gaya hidup kebanyakan imigran yang eksklusif, tidak membaur di dalam masyarakat, serta perilaku yang tidak tertib dan tidak bersih sehingga merusak tatanan sosial dan lingkungan. Banyak dari mereka yang juga menjadi pelaku-pelaku kejahatan sehingga angka kriminalitas meningkat. Juga, para imigran yang sudah tinggal lama, sudah beranak-cucu dan menjadi warga negara, banyak menuntut hak-hak mereka, terutama dalam urusan agama seperti tempat ibadah dan sekolah Islam, bahkan dalam politik seperti adanya perwakilan Islam di parlemen.
Persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh para imigran (Islam) ini menimbulkan ketidakpuasan, kritik dan antipati di dalam masyarakat. Gerakan anti-islamisasi di Jerman mengusung ide utama anti kebijakan imigrasi negara Jerman. Jerman, dan serupa dengan kebanyakan negara Eropa, menerapkan peraturan yang sangat ramah terhadap imigran. Alasan utama adalah solidaritas kemanusiaan. Di samping kebijakan lunak itu, jarak dan kemudahan transportasi menjadi alasan para imigran itu memilih Eropa. Ini berakibat banyak orang, terutama dari negara-negara Islam yang sedang menghadapi konflik memasuki Eropa.
Saat ini, Eropa mengalami banjir imigran Muslim. Sebenarnya sebelum gelombang imigran setelah tahun 2000-an ini, sudah banyak imigran-Muslim yang hidup di Eropa. Terhadap mereka yang masuk Eropa sebelum 1990-an, negara-negara Eropa menerapkan kebijakan ramah karena kebutuhan untuk tenaga untuk industri, dan alasan balas budi terhadap masyarakat di negara-negara (Islam) bekas jajahan. Akibat kebanjiran imigran, banyak orang berpendapat bahwa dalam waktu lima puluhan tahun ke depan, Eropa akan dihuni oleh 50% bangsa Eropa kulit putih dan 50% imigran-Muslim, dan dalam 100 tahun, orang Eropa hanya akan berjumlah 20%. Hal ini juga menjadi kekhawatiran bagi banyak pendukung anti-imigran atau anti-Islam.
Sikap Pemerintah dan Lembaga Keagamaan
Jerman dan negara-negara Eropa umumnya mendukung kebijakan menerima imigran. Dan karena itu pemimpin negara, seperti Kanselir Jerman Angela Merkel, mengkritik, menolak bahkan mengutuk gerakan anti-islamisasi itu. Para pendukungnya juga menuduh gerakan anti-Islam itu sebagai neo-Nazi, yang rasis, memalukan dan berbahaya bagi Jerman. Jerman memang punya sejarah buruk soal rasisme, yaitu pada peristiwa holocaust atau pembantaian sistematis, massal dan didukung negara terhadap bangsa Yahudi oleh rezim Nazi di bawah pimpinan Hitler. Citra buruk ini diharapkan tidak terulang di dalam sejarah Jerman modern. Di Eropa, gerakan anti-Islam “mewabah” maka tidak bisa dikatakan bahwa gerakan itu dilakukan oleh kelompok neo-Nazi semata.
Di pihak lain, sejalan dengan pemerintah, lembaga-lembaga keagamaan atau gereja Katolik dan Protestan menerima kebijakan ramah imigran itu dengan alasan yang sama juga, solidaritas kemanusiaan. Pada Natal 2014 dan tahun baru 2015, gereja-gereja mengimbau masyarakat untuk tidak mendukung gerakan anti-Islam. Dan pada demo anti-Islam Senin, 05 Januari 2015 di Koln, gereja memboikotnya dengan mematikan lampu di menara-menara gereja. Lembaga gereja juga menyelenggarakan program kerja sama dengan kalangan Islam. Jadi agama bukan menjadi penyebab utama meningkatnya anti-Islam.
Gerakan Anti-Islam Eropa Adalah Gerakan Politik, Bukan Agama
Sejatinya gerakan anti-Islam itu lebih bercorak politik. Kaum imigran-Muslim dilihat sebagai ancaman bagi kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Alasan agama tidak signifikan karena gerakan itu tidak menyoroti Islam sebagai agama. Mereka lebih melihat pada kelompok imigran yang beragama Islam. Apalagi, pandangan dan sikap anti-Islam itu bukan karena mereka beragama Kristen dan Katolik karena kemungkinan besar banyak di antara mereka adalah kaum humanis dan ateis.
Becermin pada kasus gerakan anti-Islam di Eropa itu, patut dipahami bahwa gerakan-gerakan yang menggunakan simbol agama (seperti anti-Islam) belum tentu persoalan utamanya adalah agama.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat
Warga Batuah Serahkan Seekor Trenggiling ke BKSDA
SAMPIT, SATUHARAPAN.COM- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Sampit Kabupaten Kotawaring...