30 Anak Meninggal Saat Lari dari Afrika Tengah
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Sekitar 30 anak-anak tewas dalam sebulan akibat kelaparan dan kelelahan saat menghindari perang dari Republik Afrika Tengah dengan menyeberang ke Kamerun, kata PBB, Jumat (23/5).
“Dalam bulan lalu, angka kematian di antara pengungsi anak-anak sangat tinggi,” kata jurubicara badan pengungsi PBB Adrian Edwards di Jenewa.
Antara 14 April hingga 18 Mei sebanyak 29 anak-anak, termuda adalah bayi dan paling tua berumur sembilan tahun, tewas setelah menyeberang ke Kamerun, kata UNHCR.
Banyak pengungsi yang lari dari bentrokan berdarah di Republik Afrika Tengah harus bersembunyi di semak belukar selama berminggu-minggu tanpa makanan atau air bersih, dan tiba di Kamerun dalam kondisi sangat menyedihkan, katanya.
Sebagian besar anak-anak yang tewas tiba dalam kondisi kurang gizi dan sakit parah, kata Edwards, seraya menambahkan upaya untuk menyelamatkan mereka di pusat terapi makanan telah gagal.
“Dehidrasi, hipotermia dan anemia akut menjadi penyebab utama kematian,” katanya.
Menurut Badan Pangan Dunia, lebih dari seperempat anak-anak yang tiba di Kamerun dari Afrika Tengah menderita kurang gizi akut.
“Itu di atas batas darurat sebanyak 15 persen,” kata jurubicara WFP Elisabeth Byrs dan menggambarkan situasi tersebut sebagai situasi yang dramatis.
Berdasarkan atas data UNHCR, sekitar 85 ribu pengungsi tiba di Kamerun dari Afrika Tengah sejak Desember --80 persen di antaranya merupakan perempuan dan anak-anak-- dan menyebar di 300 desa.
Afrika Tengah terjebak dalam krisis sejak pemberontak Seleka yang sebagian besar Muslim mengambil alih kekuasaan melalui kudeta pada Maret 2013, namun kemudian digantikan oleh pemerintahan sementara pada Januari.
Namun pecahan kelompok pemberontak Seleka mulai melancarkan kampanye dengan pembunuhan, pemerkosaan serta penjarahan, sehingga memicu anggota mayoritas Kristen membentuk kelompok anti-balaka.
Kedua kelompok itu melancarkan aksi saling bunuh sehingga menewaskan ribuan orang dan hampir satu juta orang mengungsi, sebagian besar dari kelompok Muslim.
Edwards menegaskan bahwa milisi anti-balaka telah menyerang pengungsi sepanjang perjalanan mereka ke Kamerun dan memblokade jalan menuju negara tersebut.
Akibatnya, jumlah pengungsi yang membanjiri Kamerun turun drastis menjadi hanya 2.000 per minggu, dari sebelumnya sekitar 10 ribu sepanjang minggu terakhir Maret, katanya.
“Perjalanan yang dilakukan orang-orang dari CAR merupakan perjalanan penuh ancaman, kelaparan, dan kematian,” katanya seraya menekankan bahwa banyak di antara mereka yang tiba di Kamerun dan negara-negara lain bukan hanya kekurangan gizi parah namun juga terluka.
“Pengungsi yang baru tiba mengatakan pada kami bahwa banyak anggota keluarga mereka masih terjebak di semak belukar di CAR,” katanya.
Badan PBB dan organisasi bantuan lain berupaya memenuhi tingginya kebutuhan bagi pengungsi di Kamerun, namun dana yang ada sangat terbatas.
Dari 22,6 juta dolar dana yang dibutuhkan UNHCR untuk beroperasi di sana tahun ini, sampai saat ini hanya diperoleh dana sebanyak 4,2 juta dolar, kata Edwards.
Kondisi yang dihadapi WFP lebih buruk lagi, kata Byrs, dan mengatakan bahwa badan PBB itu telah meminta dana sebanyak 15,6 juta dolar namun sejauh ini belum menerima sepeser pun. (AFP)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...