30 Bayi Prematur Dipindahkan dari Rumah Sakit di Gaza ke Mesir
KHAN YOUNIS-JALUR GAZA, SATUHARAPAN.COM-Para pejabat kesehatan mengatakan 31 bayi prematur dalam “kondisi sangat kritis” dipindahkan dengan selamat pada Minggu (19/11) dari rumah sakit utama Gaza dan akan diterbangkan ke Mesir, sementara lebih dari 250 pasien dengan luka infeksi parah dan kondisi mendesak lainnya masih terdampar selama berhari-hari setelah pasukan Israel memasuki kompleks untuk mencari pusat operasi Hamas.
Penderitaan bayi-bayi tersebut, serta klaim Israel terhadap Rumah Sakit Al Shifa, telah menjadi simbol kuat dalam perang dahsyat antara Israel dan Hamas. Serangan Israel telah memakan banyak korban jiwa warga sipil Palestina, sementara Israel menuduh Hamas menggunakan Al Shifa dan rumah sakit lainnya sebagai markas operasi militer.
Bayi-bayi yang baru lahir dari rumah sakit, di mana listrik padam dan pasokan medis habis ketika pasukan Israel memerangi militan Hamas di luar, menerima perawatan darurat di kota Rafah di Gaza selatan. Mereka mengalami dehidrasi, hipotermia, dan sepsis dalam beberapa kasus, kata Mohamed Zaqout, direktur rumah sakit di Gaza. Empat bayi lainnya meninggal dalam dua hari sebelum evakuasi, katanya.
Tim Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengunjungi Al Shifa mengatakan sebagian besar pasien yang tersisa mengalami amputasi, luka bakar atau trauma lainnya. Rencana sedang dibuat untuk mengevakuasi mereka dalam beberapa hari mendatang.
Pada hari Minggu (19/11) malam, tentara Israel mengatakan mereka memiliki bukti kuat yang mendukung klaimnya bahwa Hamas memiliki pos komando yang luas di dalam dan di bawah Al Shifa. Israel menggambarkan rumah sakit tersebut sebagai target utama dalam perangnya untuk mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza setelah kelompok militan tersebut menyerang Israel selatan enam pekan lalu.
Tentara mengatakan mereka menemukan terowongan sepanjang 55 meter (60 yard) sekitar 10 meter (33 kaki) di bawah kompleks rumah sakit seluas 20 hektare, yang mencakup beberapa bangunan, garasi, dan alun-alun. Dikatakan bahwa terowongan tersebut mencakup sebuah tangga dan lubang tembak yang dapat digunakan oleh penembak jitu, dan berakhir di sebuah pintu anti ledakan yang belum dibuka oleh pasukan.
Associated Press tidak dapat memverifikasi secara independen temuan mliter Israel, termasuk video kamera keamanan yang menunjukkan apa yang dikatakan militer sebagai dua sandera asing, satu warga Thailand dan satu warga Nepal, yang dibawa ke rumah sakit setelah serangan 7 Oktober.
Tentara juga mengatakan laporan medis independen telah menetapkan bahwa tentara Israel, Kopral Noa Marciano, yang jenazahnya ditemukan di Gaza, dibunuh oleh Hamas di rumah sakit. Marciano terluka dalam serangan Israel pada 9 November yang menewaskan penculiknya, menurut penilaian intelijen Israel. Cedera yang dialaminya tidak mengancam jiwa, namun dia kemudian dibunuh oleh militan Hamas di Al Shifa, kata militer.
Hamas dan staf rumah sakit membantah tuduhan adanya pos komando di bawah Al Shifa. Kritikus menggambarkan rumah sakit tersebut sebagai simbol tindakan Israel yang secara sembrono membahayakan warga sipil. Ribuan orang tewas dalam serangan Israel di Gaza, yang sangat kekurangan makanan, air, obat-obatan dan bahan bakar.
Pejabat senior Hamas, Osama Hamdan, menampik pengumuman militer Israel dan tidak menyangkal bahwa Gaza memiliki terowongan ratusan kilometer. Namun, katanya, “Israel mengatakan ada pusat komando dan kendali, yang berarti masalahnya lebih besar dari sekadar terowongan.”
Negosiasi untuk Sandera
Sekitar 1.200 orang tewas di pihak Israel, sebagian besar warga sipil dalam serangan 7 Oktober di mana Hamas menyeret sekitar 240 tawanan kembali ke Gaza dan menghancurkan rasa aman Israel. Militer mengatakan 63 tentara Israel telah tewas, termasuk 12 tentara dalam 24 jam terakhir.
Hamas telah membebaskan empat sandera, Israel telah menyelamatkan satu orang, dan dua mayat ditemukan di dekat Shifa.
Israel, Amerika Serikat dan Qatar, yang menjadi perantara dengan Hamas, telah merundingkan pembebasan sandera selama berminggu-minggu. “Kami berharap bisa membebaskan sejumlah besar sandera dalam beberapa hari mendatang,” kata duta besar Israel untuk Amerika Serikat, Michael Herzog, kepada ABC’s “This Week.”
Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, mengatakan poin-poin penting tersebut “lebih praktis dan logistik.”
Kabinet perang Israel yang beranggotakan tiga orang bertemu dengan perwakilan keluarga para sandera pada hari Senin (20/11) malam.
Kapal Dibajak
Pemberontak Houthi Yaman membajak sebuah kapal kargo yang terkait dengan Israel di Laut Merah bagian selatan dan menyandera 25 awaknya pada hari Minggu (19/11), sebuah tindakan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa ketegangan regional yang meningkat akibat perang tersebut akan meluas ke laut. Kelompok pemberontak yang didukung Iran itu mengatakan akan terus menargetkan kapal-kapal yang terhubung dengan Israel.
Tidak ada warga Israel yang berada di kapal Galaxy Leader berbendera Bahama, yang dioperasikan oleh perusahaan Jepang dengan awak kapal dari Filipina, Bulgaria, Rumania, Ukraina, dan Meksiko, kata para pejabat. Basis data pelayaran publik mengaitkan pemilik kapal dengan Ray Car Carriers, sebuah perusahaan yang didirikan oleh Abraham “Rami” Ungar, yang dikenal sebagai salah satu orang terkaya di Israel.
Ungar mengatakan kepada The Associated Press bahwa dia mengetahui kejadian itu, tetapi tidak bisa berkomentar saat dia menunggu detailnya. Sebuah kapal yang terkait dengannya mengalami ledakan pada tahun 2021 di Teluk Oman. Media Israel menyalahkan Iran pada saat itu.
Galaxy Leader ditangkap sekitar 150 kilometer (90 mil) di lepas pantai Yaman, dekat pantai Eritrea, dan dibawa ke kota pelabuhan Hodeida, menurut Operasi Perdagangan Maritim Inggris milik militer Inggris, mengutip seorang petugas keamanan di perusahaan kapal tersebut.
Para pejabat Jepang sedang bernegosiasi dengan pemberontak Houthi untuk pembebasan kapal dan awaknya, kata Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Hirokazu Matsuno.
Pertempuran di Barat dan Utara
Bentrokan hebat dilaporkan terjadi di kamp pengungsi Jabaliya di Gaza utara. “Terdengar suara tembakan dan tembakan tank terus-menerus,” kata Yassin Sharif, yang berlindung di rumah sakit yang dikelola PBB di sana, melalui telepon.
Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, Philippe Lazzarini, mengatakan 24 orang tewas sehari sebelumnya dalam apa yang digambarkan oleh para saksi sebagai serangan udara Israel terhadap sekolah yang dikelola PBB di Jabaliya.
Militer Israel, yang telah berulang kali meminta warga Palestina untuk meninggalkan Gaza utara, hanya mengatakan bahwa pasukannya aktif di wilayah tersebut “dengan tujuan untuk menyerang teroris.”
“Perang ini menimbulkan korban sipil dalam jumlah yang sangat besar dan tidak dapat diterima. ... Ini harus dihentikan,” kata Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam sebuah pernyataan mengenai serangan itu dan serangan lainnya terhadap sekolah yang dikelola PBB dalam waktu 24 jam.
Lebih dari 11.500 warga Palestina telah terbunuh di Gaza, menurut otoritas kesehatan Palestina. 2.700 lainnya dilaporkan hilang, diyakini terkubur di reruntuhan. Penghitungan tersebut tidak membedakan antara warga sipil dan kombatan; dan Israel mengatakan mereka telah membunuh ribuan militan.
Serangan pasukan Israel dan pemukim telah menewaskan 215 warga Palestina di Tepi Barat sejak perang dimulai, menurut pejabat kesehatan Palestina.
Cuaca Dingin Menantang Warga Gaza
Lebih dari dua pertiga penduduk Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa telah meninggalkan rumah mereka. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, atau UNRWA, sedang berjuang untuk menyediakan layanan dasar bagi ratusan ribu pengungsi. Tujuh belas fasilitasnya terkena dampak langsung, kata badan tersebut.
Penderitaan mereka semakin parah dalam beberapa hari terakhir karena angin dingin dan hujan lebat.
Selama akhir pekan, Israel mengizinkan UNRWA mengimpor bahan bakar yang cukup untuk melanjutkan operasi kemanusiaan selama beberapa hari, dan untuk menjaga sistem internet dan telepon tetap berjalan. Israel menghentikan semua impor bahan bakar pada awal perang, menyebabkan satu-satunya pembangkit listrik di Gaza dan sebagian besar sistem pengolahan air ditutup.
Israel telah berulang kali menyerang apa yang dikatakannya sebagai sasaran militan di wilayah selatan, dan sering kali menewaskan warga sipil.
Zona evakuasi sudah penuh sesak dengan warga sipil yang mengungsi, dan tidak jelas ke mana mereka akan pergi jika serangan semakin dekat. Mesir menolak menerima masuknya pengungsi Palestina, sebagian karena kekhawatiran bahwa Israel tidak akan mengizinkan mereka kembali.
Namun beberapa pasien dan warga negara asing dilaporkan berhasil lolos. Kementerian Kesehatan Turki mengatakan pihaknya mengevakuasi 110 orang, termasuk pasien dan kerabat mereka, dari wilayah Gaza ke Mesir.
Sebanyak 87 orang lainnya yang berasal dari Turki atau Siprus utara yang memisahkan diri memasuki Mesir dari Gaza pada hari Minggu (19/11) malam, kata para pejabat Turki, dan kelompok tersebut diterbangkan pada Senin ke Turki.
Khalil Manaa, 71 tahun, warga Palestina-Kanada, meninggalkan Gaza menuju Mesir pada hari Minggu. Setelah melarikan diri ke Gaza selatan, dia mengatakan dia dan kerabatnya berbagi rumah yang dipenuhi 40 orang. “Dan di sana, kami juga menjadi sasaran serangan hebat. … Sebuah roket menghantam rumah kami,” katanya. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...