5 Peristiwa Mancanegara dari Kuwait, Somalia Hingga Thailand
KUWAIT, SATUHARAPAN.COM – Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo berada di Timur Tengah untuk melangsungkan pembicaraan keamanan regional di Kuwait, Israel dan Lebanon sebagai bagian dari usaha Washington mengalang dukungan baru untuk menentang agresi Iran.
Diplomat tertinggi AS itu tiba, Rabu (20/3), di Kuwait City, di mana ia berencana membahas rencana strategi AS di kawasan itu dan isu-isu bahan bakar dengan para pejabat Kuwait.
Setelah Kuwait, Pompeo akan berkunjung ke Israel dan bertemu PM Benjamin Netanyahu, yang pemerintahnya diperkirakan akan menghadapi kesulitan pada pemilu 9 April terkait penyelidikan korupsi terhadap dirinya. Netanyahu juga menghadapi tuduhan-tuduhan suap, penipuan dan pelanggaran kepercayaan.
Pompeo mengatakan dalam perhentian ketiganya di Beirut, ia akan menghabiskan banyak waktu dengan pemerintah Lebanon untuk membahas bagaimana Washington dapat membantu negara itu menghadapi ancaman Iran dan kelompok Hizbullah,
AS menganggap Hizbullah sebagai organiassi teroris yang pro-Iran, meskipun memiliki keterwakilan dalam pemerintahan koalisi PM Saad Hariri, yang dikenal sebagai sekutu AS.
Serangan Udara AS Tewaskan 14 Warga Sipil di Somalia
Sementara itu organisasi hak asasi Amnesty International merilis laporan yang mengatakan serangan udara Amerika di Somalia menewaskan sedikitnya 14 warga sipil dalam dua tahun terakhir. Militer Amerika membantah tuduhan itu.
Laporan setebal 73 halaman itu, berjudul "Perang Tersembunyi Amerika di Somalia," berfokus pada kematian warga sipil akibat serangan udara Amerika yang dimaksudkan melemahkan kelompok militan al-Shabab.
Abdullahi Hassan, peneliti Amnesty International di Somalia mengatakan, “Laporan ini mencakup bukti yang bisa diandalkan bahwa setidaknya 14 warga sipil tewas dan delapan lainnya luka-luka hanya dalam lima dari lebih 100 serangan udara yang dilakukan di Somalia. Serangan-serangan udara itu terjadi di wilayah Lower Shabelle."
Penyelidik mendasarkan temuan itu pada keterangan saksi mata, gambar-gambar satelit, dan foto-foto yang diambil di wilayah itu setelah serangan.
Organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London itu mencatat, serangan udara Amerika di Somalia naik tiga kali lipat sejak awal 2017, ketika Presiden Donald Trump memberi militer wewenang lebih luas untuk menyerang target-target al-Shabab di Somalia selatan.
Seorang petani tewas dalam serangan yang dilakukan oleh pasukan Somalia yang didukung AS di kawasan Lower Shabelle, Somalia (foto: ilustrasi).
Dalam pernyataan hari Rabu (20/3), Komando Afrika Amerika, disingkat AFRICOM, yang melancarkan serangan militer di Somalia, berkoordinasi dengan pemerintah Somalia, membantah serangan-serangan udara itu menewaskan warga sipil. Sebagian dari pernyataan itu berbunyi, “AFRICOM melakukan upaya luar biasa untuk mengurangi kemungkinan korban sipil, dan selalu menahan diri adalah kebijakan.”
Peneliti Amnesty datang ke Somalia untuk berbicara dengan orang-orang di beberapa daerah yang menjadi sasaran serangan udara. Sesepuh Somalia Muumin Abdirahman mengungkapkan, warga sipil terjebak serangan-serangan itu, tidak bisa pergi ke mana-mana.
“Kami diberitahu, targetnya adalah al-Shabab tetapi kelompok tersebut hidup di antara orang-orang itu, dan warga sipil juga tinggal di antara mereka. Tidak ada strategi. Serangan udara ini dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui wilayah itu dan penduduknya dan menjatuhkan bom. Bayangkan masalah yang ditimbulkan,” ujar Abdirahman.
Peneliti Amnesty, Hassan, mengatakan serangan udara yang sering dilakukan itu berdampak pada kehidupan rakyat.
Amnesty International, yang menyatakan serangan itu bisa dianggap sebagai kejahatan perang, mengimbau pemerintah Amerika agar menyelidiki dugaan kematian warga sipil itu.
Sita Kapal Bendera Italia
Di Italia, para pejabat pemerintahan telah menyita kapal berbendera Italia "Mare Ionio" dan menanyai awaknya, yang mungkin telah melanggar perintah Kementerian Dalam Negeri yang menutup semua pelabuhan bagi kapal-kapal yang mengangkut migran yang diselamatkan di laut.
Kapal Mare Ionio itu kini sudah kosong dan berada di pelabuhan Lampedusa. Kapal bantuan itu disita atas perintah hakim Sisilia karena membawa imigran gelap. Ke-49 migran itu, termasuk 12 anak-anak, diturunkan dari kapal hari Selasa (19/3) malam, diberi makan, minuman dan pakaian bersih dua hari setelah mereka diselamatkan oleh kapal Mare Ionio di lepas pantai Libya.
Para pejabat Italia menanyai kapten kapten dan pemilik kapal itu, dan pemeriksaan atas awaknya dilanjutkan hari Rabu untuk mengetahui apa yang terjadi ketika mereka menyelamatkan para migran itu di perairan Libya. Kata pemilik kapal Beppe Caccia, ia sebelumnya diminta oleh pemerintah Italia untuk menurunkan para migran itu di pelabuhan lain yang aman. Kata Caccia ia telah minta dokumen resmi yang melarang kapal itu memasuki perairan Italia, tapi tidak mendapat jawaban.
Alessandra Scirba, juru bicara kelompok nirlaba Mediterania, yang mengoperasikan kapal itu mengatakan, ia tidak mendapat perintah untuk membawa migran itu ke Libya, baik oleh penguasa Libya ataupun pejabat Italia.
Kata pejabat Italia, kapal Mare Ionio tidak punya izin untuk masuk ke pelabuhan Lampedusa. Kapten kapal mengatakan ia memutuskan tetap masuk ke pelabuhan karena alasan keamanan dan laut yang bergelombang besar. Kelompok nirlaba itu mengatakan, para migran tadi diselamatkan dari kematian karena tenggelam, dan supaya mereka jangan dikembalikan ke tempat di mana mereka telah mendapat tindakan kejam.
Wali kota Lampedusa, Salvatore Martello mengatakan, sesuai peraturan hukum laut, karena kapal itu berbendera Italia, kapal itu harus diizinkan masuk ke pelabuhan Italia.
Para migran yang diselamatkan itu kini sedang menunggu di Lampedusa, untuk mengetahui kemana mereka akan dipindahkan. Rombongan migran yang terakhir tiba di pulau itu tiga minggu yang lalu. Kedatangan para migran itu telah jauh berkurang sejak menteri dalam negeri Italia Matteo Salvini mulai menutup pelabuhan Italia bagi para pengungsi atau migran tahun lalu.
Tiga Hari Berkabung Nasional
Sementara di Mozambik pemerintah sepakat selama tiga hari berkabung nasional dimulai hari Rabu (20/3) setelah salah satu badai paling merusak, yang melanda Afrika selatan dalam puluhan tahun, menewaskan ratusan orang.
Topan Idai, dengan kekuatan angin sampai 170 kilometer per jam, menghantam kota pelabuhan Beira di Mozambik Kamis lalu sebelum melanda daratan selagi menuju Zimbabwe dan Malawi.
Peramal cuaca memperkirakan hujan lebat akan terjadi hingga Kamis dan ketinggian banjir akan naik. Kelompok-kelompok bantuan berusaha mengangkut barang-barang penting untuk para penyintas yang sangat membutuhkan.
Presiden Filipe Nyusi hari Selasa mengatakan, Idai menewaskan lebih 200 orang di Mozambik dan penyelamat masih menemukan mayat-mayat. Setelah memantau daerah yang terimbas dari udara pada hari Senin, Nyusi memperkirakan, jumlah korban jiwa akan melampaui 1.000. Jumlah korban tewas yang dikukuhkan hari Rabu di Mozambik, Zimbabwe dan Malawi mencapai lebih dari 300, kata pejabat-pejabat.
Badan-badan bantuan mengatakan mereka bersiap untuk topan itu tetapi tidak untuk banjir besar yang ditimbulkan. Mozambik paling parah terimbas akibat air sungai meluap dari tetangganya. Badan-badan itu mengatakan mereka kesulitan menjangkau korban yang banyak terdampar di daerah terpencil Mozambik yang rusak parah.
Pemilu Pertama Sejak Kudeta 2014
Di Thailand sedang mempersiapkan finalisasi pemilu pertama hari Minggu (24/3), yang pertama sejak kudeta militer tahun 2014.
Menurut Aim Sinpeng, asisten profesor Departemen Hubungan Internasional dan Pemerintah di Universitas Sydney, 75 persen dari hampir 52 juta warga Thailand yang memiliki hak pilih diperkirakan akan memberikan suara mereka. “Jumlah pemilih yang memberikan suara di Thailand umumnya besar,” ujarnya.
Menurut PBS Thailand, dari 2,6 juta pemilih yang terdaftar untuk memberikan suara lebih dulu pada 17 Maret lalu, 86,98 persen benar-benar datang ke TPS. Ini menunjukkan besarnya minat warga untuk mensukseskan pemilu. KPU melaporkan hanya ada sedikit kegugupan dalam proses pemberian suara pemilu awal itu, yang pertama dalam delapan tahun.
Pemerintahan militer pimpinan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha telah berulangkali menangguhkan pelaksanaan pemilu. Pemilu sedianya dilangsungkan tahun 2015, setahun setelah kudeta militer. Tak heran jika harapan dan aspirasi warga dan masyarakat kini membludak, ujar Chris Baker, sejarawan yang ikut membantu menulis buku “A History of Thailand” bersama Pasuk Phongpaichit.
Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha, mengerahkan semua sumber daya untuk memastikan posisinya tidak tertandingi ketika pemilu pertama sejak tahun 2011 diadakan hari Minggu.
Prayut mengatakan jika ia menang, pemilih akan mengembalikan negara yang dipimpin junta militernya itu ke "demokrasi."
Ancaman terbesar Prayut tetaplah keluarga Shinawatra yang diasingkan dan apakah ia bisa meraih cukup dukungan lintas partai untuk memberi kesan kepemimpinannya sah.
Seperti dikatakan Dewan Hubungan Luar Negeri yang berbasis di Amerika baru-baru ini, "Kerajaan itu tampaknya tidak mungkin mengatasi ketegangan politik, apapun hasil pemilu." Sebaliknya, politik Thailand tampaknya ditakdirkan terus tidak stabil, meskipun bentuk ketidakstabilan mungkin berbeda, tergantung pada hasil pemilu." (VOA)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...