Hadap Hidup Aris “Manyul” Prabawa
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menghadapi persoalan. Melihat dan memahami masalah hidup. Dengan kemajuan dan kemunduran. Kemudahan dan kesulitan. Kita hadapi. Guna mencari dan menemukan. Jalan keluar yang lebih baik.
Wall text tersebut tertempel kecil di sisi depan saat memasuki ruang pamer yang mempresentasikan karya Aris “Manyul” Prabawa, seniman-perupa yang tumbuh dalam pergerakan masa-masa sebelum reformasi di Indonesia tahun 1998-an, bersama seniman-seniman Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi. Manyul turut membidani lembaga itu.
Rekaman karya dengan tema-tema kritik sosial, demokrasi, melawan kekerasan dan represi aparat, ketidakadilan sosial dari penguasa, hingga tema-tema sederhana sekitar kehidupan sehari, banyak dibuat Manyul dengan berbagai medium-material, dengan sebagian besar karya drawing, lukisan, dan karya tiga matra/instalasi. Figur-figur makhluk berbadan manusia dan berkepala binatang (burung, ayam, harimau, ikan, tikus, anjing ajak/serigala) menjadi salah satu ciri khasnya bersama seniman Taring Padi lain.
Dalam pameran tunggal retrospeksi “Hadap Hidup”, Manyul mempresentasikan karya yang dibuat rentang tahun 1999 hingga 2018. Begitu memasuki ruang pamer, pada lorong masuk pengunjung langsung dihadapkan pada karya instalasi Manyul berjudul “Contagious of the Civilisation” yang dibuat pada tahun 2012.
Karya dalam medium cat enamel di atas aluminium dalam dimensi 82x82x82 cm itu menampilkan objek puluhan senapan serbu yang mengarah ke berbagai arah dengan senapan berbalut corong di ujung senapan, seolah membawa pesan bahwa kekerasaan telah menjadi virus yang menyebar dan menulari peradaban manusia.
Dalam karya drawing berjudul “The Death Carnival” yang dibuat tahun 1999 dalam goresan ballpoint, Manyul merekam karnaval kematian demokrasi akibat represi penguasa: figur militer yang menjadi alat bagi kekuasaan, pembungkaman ekspresi menjadi tontonan kematian. Hingga awal Reformasi di Indonesia sekitar tahun 1998-1999, demokrasi di Indonesia masih dalam tekanan penguasa. Hingga saat ini pun sesungguhnya masih menyisakan beberapa praktik penindasan, meskipun keadaannya masih lebih baik dibanding masa-masa Orde Baru.
Pada karya berjudul “Work for Reformation. Finish it Quickly!” dalam medium ballpoint di atas kanvas berdimensi 175x150 cm yang dibuat pada tahun 2001, Manyul seolah sedang mengingatkan bahwa kerja reformas harus dituntaskan agar kehidupan demokrasi menjadi lebih sehat bagi seluruh warga negara. Jika menilik pada kondisi saat ini, oligarki masih berkuasa di pentas politik nasional. Penindasan pada hak sipil, penyedotan sumber daya alam, penguasaan SDA yang masih meminggirkan hak-hak warga masih ditemui di berbagai tempat di Indonesia.
Kriminalisasi aktivis seperti Joko Prianto yang menolak keberadaan pabrik-tambang semen di Rembang, Budi Pego pada kasus tambang emas Tumpang Pitu-Banyuwangi, tukar guling lahan yang berakibat pada proses hukum petani Kendal Abdul Aziz, petani-petani di Kabupaten Batang yang “terusir” dari area pertaniannya akibat pembanunan PLTU di sana, ataupun masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia yang terusir dari tanahnya akibat ekspansi korporasi perkebunan sawit, terkesan terjadi pembiaran dari negara. Praktik-praktik demikian menjadi gambaran bagaimana oligarki masih berkuasa dalam tatanan pemerintahan saat ini. Karya Manyul tersebut dalam konteks hari ini masih relevan: sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak masih dalam cengkeraman oligarki kekuasaan.
Sebagaimana tertulis dalam wall text pameran: realitas, inilah yang coba diangkat Manyul dalam hampir keseluruhan karyanya. Apakah Manyul hanya kritis pada ketimpangan-ketidakadilan yang terjadi di Indonesia?
Jika menilik pada karya berjudul “Perspektif Binatang/animal perspective” yang dibuat pada tahun 2002, setidaknya Manyul pun memberikan kritik pada kerusakan lingkungan dan dampak ekologis-sosial akibat pertambangan di Australia. Manyul juga menyoal bagaimana brutalnya sistem peternakan, di mana belasan tahun dia tinggal di sana.
Realitas-realitas demikian kerap terjadi di berbagai belahan dunia. Kritik yang sama disampaikan Manyul dalam karya berjudul “Mother Earth in Pain” dalam medium cat minyak di atas kanvas yang dibuat pada tahun 2006, mengisahkan bagaimana alam Papua yang dieksploitasi tambang mineral-emasnya, pembabatan hutan, illegal logging, pembunuhan tokoh Theys Hiyo Elluay yang tidak pernah terselesaikan kasusnya, maupun berbagai dampak sosial-budaya bagi penduduk indigenous Papua. Pada titik inilah, seni sebagai salah satu penjaga peradaban bisa memfungsikan dirinya.
“Tidak ada persiapan khusus. Beberapa koleksi (saya) pinjam dari teman-teman yang masih menyimpannya,” jelas Aris Prabawa kepada Satuharapan.com saat ditemui pada pembukaan pameran, Sabtu (5/1) malam di pelataran Jogja National Museum.
Dalam hal tema maupun visual karya, pameran “Hadap Hidup” menjadi pameran yang kuat, yang hampir seluruh karya “memaksa” pengunjung untuk mendatangi dan mengamati secara terperinci. Inilah kekuatan karya Manyul: provokatif, menarik, tanpa kehilangan detail tema-karya. Jika pameran retrospeksi biasanya dalam penataan karya mengikuti lini masa (timeline), tidak demikian pada pameran “Hadap Hidup”. Ini menjadi tawaran menarik, di mana karya-karya memiliki ruangannya sendiri tanpa harus terinvensi oleh lini masa proses pencapaian karya seniman.
Dalam dimensi besar maupun kecil, karya Manyul memiliki kedalaman yang tidak ditentukan oleh dimensi karya itu sendiri. Karya drawing series berjudul “Tak kuat kau jatuh” yang berjumlah 49 dalam ukuran masing-masing 10x13 cm dalam medium ballpoint di atas kertas yang dibuat pada tahun 2011, menyajikan drama tanpa dialog dari figur-figur yang sebagian besar melengkapi dirinya dengan senapan. Karya drawing series tersebut disandingkan dengan karya patung berjudul “Maju Kena Mundur Kena” yang dibuat pada tahun yang sama.
Pada ruangan tersebut dipajang tiga karya terbaru Manyul yang dibuat pada tahun 2018: lukisan cat minyak di atas kanvas berjudul “No doubt” dan drawing ballpoint di atas kertas “Transformation”, serta sebuah lukisan tanpa judul yang menggambarkan pertarungan penguasa bersenjatakan senapan-pistol maupun alat berat dan masyarakat sipil bersenjatakan telunjuk tangan dalam pertarungan perebutan sumberdaya tersisa. Dalam ruangan tersebut ada pesan jelas: tak kuat kau jatuh.
Tujuh puluhan judul presentasi retrospeksi tunggal karya Aris Prabawa bertajuk “Hadap Hidup” berlangsung di Jogja National Museum Jalan Ki Amri Yahya No 1 Gampingan Yogyakarta hingga 12 Januari 2018.
Editor : Sotyati
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...