50 Tahun Freeport Keruk Papua, Mahasiswa Demo di 8 Kota
INDONESIA, SATUHARAPAN.COM - Memperingati 50 tahun Freeport McMoran mengeruk bumi Papua (7 April 1967-7 April 2017), sejumlah mahasiswa turun ke jalan melakukan aksi protes.
Mereka menyerukan agar Freeport ditutup, dan memberikan kesempatan kepada rakyat Papua menentukan sendiri nasib pertambangan di wilayah mereka.
Aksi unjuk rasa pada hari Jumat (07/08) dilaporkan berlangsung sedikitnya di delapan kota, yaitu di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Sula, Maluku Utara, Makassar, Kupang, Timika dan Jayapura. Sebagian besar peserta adalah mahasiswa yang berasal dari Papua dan belajar di kota-kota tersebut. Namun, mahasiswa yang berasal dari kota-kota setempat juga ada yang turut bergabung.
Kecuali di Jayapura dan di Timika, jumlah peserta aksi di kota-kota lainnya terhitung tidak terlalu besar. Namun, semakin banyaknya kota tempat digelarnya aksi, menunjukkan semakin luasnya perhatian terhadap isu Freeport dalam perspektif Papua.
Penyemaian informasi tentang persoalan-persoalan mutakhir di Papua lewat aksi-aksi ini tampaknya juga semakin intens, melampaui apa yang disuguhkan oleh media arus utama.
Unjuk rasa ini dimotori oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI WEST PAPUA) dan Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport (FPM-TF).
Di Jakarta, AMP dan FRI WEST PAPUA melakukan aksi di depan kantor PT Freeport Indonesia. Mereka menyatakan menolak semua kesepakatan pemerintah dan PT Freeport yang sudah 50 tahun beroperasi.
Aksi menuntut penghentian operasi Freeport McMoran di Jakarta, memperingati 50 tahun kehadiran perusahaan itu di Papua. (Foto: Ist)
"Masyarakat adat dan bangsa West Papua sama sekali tidak dilibatkan (dalam pembuatan kontrak antara RI dan Freeport, Red). Bukan hanya itu, selama kisruh perubahan status, telah terjadi beberapa kali insiden pembunuhan, diantaranya aktivis pendidikan dan kesehatan Luther Magal," demikian pernyataan tertulis AMP di Jakarta, yang diperoleh dari humas aksi, Surya Anta dan Frans Naipa.
Sementara itu di depan Gedung Merdeka, Bandung, aktivis AMP juga menyuarakan hal yang sama.
"Tutup Freeport dan berikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua sebagai solusi demokratis," kata Nanang Kosim, humas aksi AMP di Bandung.
Aksi unjuk rasa di Bandung berlangsung unik, karena diwarnai oleh atraksi akrobatik yang banyak menarik perhatian pejalan kaki.
Di Jayapura, aksi mahasiswa dipimpin oleh Jefry Wenda, ketua umum Solidaritas Mahasiswa Pemuda Papua (SONAMAPPA), Claos Pepuho, ketua Forum Independen Mahasiswa (FIM), Teko Kogoya, dan Yason Ngelia, masing-masing ketua umum dan sekretaris jenderal Gerakan Mahasiswa Pemuda & Rakyat Papua (GempaR-Papua).
Mereka mengeluarkan tujuh tuntutan: (1) Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MIFEE dan MNC lainnya;
(2)Tarik TNI-POLRI Organik dan Non-organik Dari Seluruh Tanah Papua;
(3) Tolak Rencana Pembangunan Pangkalan Militer di Biak;
(4) Freeport Wajib Merehabilitasi Lingkungan Akibat Eksploitasi Tambang Selama 50 Tahun;
(5) Usut, Tangkap, Adili dan Penjarakan Pelaku Pelanggaran HAM Selama Keberadaan Freeport di Papua;
(6) Biarkan Rakyat dan Bangsa Papua Menentukan Masa Depan Pengelolaan Kekayaan Alam di Tanah West Papua;
dan (7) Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Demokratik Bagi Bangsa Papua.
Aksi unjuk rasa di Jayapura berlangsung di depan gapura Universitas Cendrawasih di Perumnas 3 Waena. Sejumlah aktivis dilaporkan ditangkap dan dibawa ke Polres Sentani.
Di Yogyakarta, aksi AMP dan FRI WEST PAPUA dibubarkan oleh oleh aparat karena tak memiliki izin. Namun, para peserta aksi mengatakan mereka telah melaporkan rencana mereka ke Kapolda. Mereka juga mengeluhkan terlibatnya sejumlah ormas setempat yang ingin menghalangi mereka ketika akan melakukan aksi di Bundaran Universitas Gadjah Mada. Sebanyak 20 orang aparat kepolisian berjaga untuk mengamankan aksi.
Di Kupang, aktivis mahasiswa Papua tampak membagi-bagikan brosur berisi penolakan terhadap Freeport. Sementara di Makassar, unjuk rasa oleh puluhan mahasiswa menyuarakan hal yang sama, juga terjadi.
Markus Haluk, intelektual muda Papua penulis buku "Menggugat Freeport Suatu Jalan Penyelesaian Konflik," menilai aksi itu adalah refleksi dari pertanyaan rakyat Papua, setelah 50 tahun Freeport berada di sana, apa yang telah diwariskan perusahaan itu bagi bangsa dan rakyat Papua.
Kesan yang umum, menurut dia, adalah pemerintah Indonesia, tidak melindungi manusia Papua melainkan melindungi Freeport dan sumberdaya alam Papua.
Dia menambahkan, Freeport sebagai pemilik saham dalam bentuk uang, Indonesia sebagai pemilik saham berupa undang-undang dan Suku Amungme dan bangsa Papua sebagai pemilik saham tanah, harus berunding bersama membicarakan bagaimana nasib pertambangan itu 50 tahun ke depan.
"Kontrak Karya pertama Freeport dan pemerintah jelas cacat moral, politik dan hukum sebab dilakukan sebelum status Papua ditentukan melalui Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...