50 Tahun Kesaksian GM Sudarta dalam Karikatur Oom Pasikom
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Selama sembilan hari, Bentara Budaya Yogyakarta menyelenggarakan pameran karikatur karya GM Sudarta bertajuk "50 Tahun Kesaksian Oom Pasikom". Pameran yang berlangsung 23-31 Mei 2017 menampilkan karya perjalanan Oom Pasikom 50 tahun sebagai salah satu bentuk opini harian Kompas.
Pada Jumat (26/5) malam di tempat yang sama diselenggarakan diskusi membahas sepak terjang GM Sudarta bersama Oom Pasikom maupun karakter tokoh lainnya dalam memberikan kritik sosial yang terjadi saat itu melalui karikatur.
Diskui yang dipandu oleh Kuss Indarto menghadirkan penulis novel Ashadi Siregar, budayawan GP Sindhunata, serta wartawan senior Kompas Trias Kuncahyono. Ketiga pembicara mengangkat perspektif yang berbeda.
Dalam paparan awal, Ashadi Siregar menyoroti tantangan dunia karikatur di masa datang ditengah perkembangan teknologi yang semakin cepat.
"Ketika media cetak berangsur-angsur mulai ditingalkan masyarakat dan beralih ke media elektronik, justru Kompas sendiri tidak memiliki kolom karikatur di laman daringnya (online)." kata Ashadi Siregar dalam pemaparannya. Ashadi menggarisbawahi seandainya Kompas daring memiliki animasi Oom Pasikom ataupun komik strip yang dianimasikan dalam lamannya, tentu ini sebuah tawaran yang bisa memiliki nilai jual.
Dalam hal karikatur sendiri sebagai sebuah media kritik sosial, Ashadi menilai karikatur dikatakan berhasil jika mampu membawa masyarakat penikmat karikatur tersenyum, begitupun pada pihak yang dikarikaturkan, dan pada saat bersamaan pembuat karikatur pun bisa tersenyum karena materi kritiknya bisa diterima oleh banyak pihak.
Membangun Demokrasi melalui Opini yang Sehat
Budayawan GP Sindhunata lebih menyoroti tentang dinamika sosial-politik dalam proses pembuatan karikatur. Pada masa Orde Lama dan Orde Baru, tekanan politik dari penguasa menjadi sumber inspirasi sekaligus medan untuk bersiasat agar karya karikatur bisa sampai ke masyarakat
Sebagai contoh, pada Januari 1978 Kompas sempat mengalami pembredelan dari penguasa. Dalam beberapa saat harian Kompas dilarang terbit akibat sikap kritisnya pada penguasa terkait pencalonan Soeharto menjadi presiden saat itu.. Saat diijinkan terbit kembali, pada Senin (6/2/1978) harian Kompas menjadikan karikatur Oom Pasikom dengan kalimat singkat "Selamat Pagi...!" sebagai image untuk headline saat itupun memunculkan tafsir yang beragam.
"Oom Pasikom dibuat oleh GM didalam kesendirian. Saya berani menyimpulkan bahwa apa yang keluar sebagai Oom Pasikom itu lebih merupakan pergulatan pribadi (GM Sudarta) yang orisinil. Karena dia seorang seniman, lebih bekerja mengolah kreativitasnya sendiri. Karikaturis yang baik itu tidak hanya menguasai aspek jurnalisme tapi juga menguasai aspek seni karena dia harus bisa bekerja dalam kesendirian." papar Romo Sindhu panggilan sapaan GP Sindhunata.
Lebih lanjut Romo Sindhu menjelaskan bahwa seni kerap muncul saat kita dalam tekanan oleh suatu rejim (suatu represi) sehingga kita mencari celah-celahnya. Ini bisa dilihat pada dua puluh tahun berikutnya, dimana pada masa reformasi Oom Pasikom bahasanya masih tetap gagah.
Bahwa kalo dulu dia membuat karikatur bisa membuat pejabat (pihak lain) yang dikrtitik tersenyum ketika membaca korannya dan rakyat senang karena sudah diwakili kejengkelannya dan karikaturisnya sendiri juga puas karena tidak takut.
Sindhunata juga menyoroti pada perkembangan masyarakat yang akhir-akhir ini terjebak dalam sebuah kebebasan yang tidak bebas akibat tafsir yang beragam terlebih ketika menyangkut SARA, primordialisme, maupun radikalisme. Saat ini kondisinya berbeda, dimana masyarakat hidup dalam iklim ketakutan. Apa saja bisa salah. Bahasa kebebasan terlalu banyak dan kita tidak bisa mendapatkan peluang.
Dulu setelah reformasi, ketakutan yang merajai karikatur tidak bisa membuat senyum siapa-siapa lagi, karena perang besar para elite yang bisa dimanipulasi oleh apapun. Saat ini kondisinya berbeda. Ketika dipakai isu primordial yang merusak, begitu kita mau main di situ akan keliru apalagi bila masuk ranah SARA dan agama, lalu radikalisme. Radikalisme jauh lebih menakutkan daripada didatangi tentara. Iklim ketakutan itu saat ini sungguh luar biasa. Ini menjadi tugas yang tidak mudah bagi seni dan karikatur terlebih pasca GM (Sudarta), bagaimana demokrasi tetap bisa menjamin suatu roh kita berani. bahwa kita tetap berani bukan dilanda ketakutan dalam bentuk SARA, radikalisme., fundamentalisme, ketakutan keliru, ketakutan primordial, jelas Romo Sindhu.
"Demokrasi hanya bisa dibangun kalau seluruh pihak berani mengutarakan siapa dirinya, bukan (sebaliknya) dia takut menyimpan dirinya dalam silent majority." kata Romo Sindhu.
Meskipun dikenal pendiam, namun untuk membuat karya karikatur untuk opini GM Sudarta adalah karikaturis yang rendah hati dengan meminta pendapat ataupun update kondisi terkini agar karya karikaturnya tetap kontekstual-aktual.
"Setiap akan membuat karikatur, GM sering datang ke meja saya. Ngobrol sebentar tentang ide yang sedang didapatnya sekaligus minta pertimbangan. Ini jarang dilakukan oleh (karikatur) lainnya. Setelah pensiun dan menetap di Klaten, hal yang sama masih dilakukan baik melalui sms ataupun telpon langsung. Bahkan ketika tidak punya ide pun tetap meminta masukan." papar Trias Kuncahyono.
Trias Kuncahyono lebih banyak membicarakan proses berkarya GM Sudarta dengan semisal ketika terjadi konflik di DPD dengan karya karikatur yang diluar dugaannya. Begitupun ketika menggambarkan politik kartun karangan bunga yang diterima Basuki Tjahaya Purnama (BTP) saat kalah dalam pilkada DKI dengan ilustrasi malaikat. Belakangan Trias baru menyadari bahwa penggambaran malaikat itu tidak lain adalah istri BTP.
Menanggapi perjalanan 50 tahun Oom Pasikom seniman-perupa Nasirun dan Yuswantoro Adi berharap Oom Pasikom terus dilanjutkan di masa-masa datang.
"Pendiri Walt Disney boleh mati, namun kartun Mickey Mouse (dan karakter lainnya) masih ada (sampai saat ini), dikerjakan bukan oleh Walt Disney tapi oleh orang-orang yang direkrut oleh WD sehingga karakternya tidak hilang. Saya pikir secara teknis, karakter Oom Pasikom sangat mudah di-copy artinya ini bisa diteruskan oleh orang lain tentu tidak harus bernama GM Sudarta. Selagi beliau masih hidup, beliau bisa diminta menjadi mentor untuk meneruskan." papar Yuswantoro Adi.
Bagaimanapun Kompas dengan karikatur Oom Pasikom telah memberikan warna bagi dunia kritis Indonesia dalam perjalanannya hingga saat ini. Dan sebagaimana diutarakan GM Sudarta sendiri: dengan kartun kita berteriak dalam bisikan bahwa ada yang perlu diperbaiki, sebelum kita terlambat.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...