54 Anak Warga Muslim Syiah Tidak Bisa Sekolah
JAKARTA, SATU HARAPAN.COM - Ada 58 anak warga Muslim Syiah di Sampang, Madura yang kehilangan hak-haknya akibat berada di pengungsian cukup lama dan tidak ada penyelesaian atas masalah yang mereka hadapi.
“Bayi yang lahir di sana (pengungsian-red.) tidak mendapatkan hak atas identitas mereka (memperoleh akte kelahiran), dan anak-anak yang lain pun tidak dapat bersekolah.” Demikian dikatakan Ilma Sovri Yanti dari Satuan Tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dalam konferensi pers hari Rabu (19/6) di kantor the Wahid Institute, Jakarta.
Anak-anak itu adalah bagian dari korban konflik berlatar belakang agama di Sampang, dan mereka telah sembilan bulan mengungsi di gelanggang olah raga Sampang. Dari 58 anak di pengungsian itu, terdapat empat bayi yang lahir di sana.
Ilma mengatakan bahwa konflik tersebut menganggu perkembangan kejiwaan mereka. Anak-anak yang melihat peristiwa tersebut anak mengalami trauma berkepanjangan. Sebab, mereka melihat kejadian bahwa orang tua mereka mengalami kekerasan. “Anak-anak menuntut agar suasana di Sampang segera dipulihkan,” kata dia
Dijelaskan bahwa dalam UU No. 23/2003 tentang Perlindungan Anak (pasal 59) ditegaskan tentang kewajiban pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol dan psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Dalam pasal 60 dijelaskan bahwa anak dalam situasi darurat adalah anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak dalam situasi konflik bersenjata. Oleh karena itu, pemerintah harus melaksanakan pasal tersebut dengan memberi perlindungan bagi anak-anak tersebut.
“Jika pemerintah tidak melakukan perlindungan terhadap anak pengungsian di Sampang pemerintah dinilai gagal melakukan tugasnya sebagai pengayom dan pelindungan terhadap warga masyarakat,” ungkapnya.
Oleh karena itu, adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi anak-anak Muslim Syiah di pengungsian. “Sudah sembilan bulan (mengungsi-Red.), tetapi tidak tampak ada upaya penyeselesaian atas masalah tersebut,” kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Andy Irfan Junaidi.
KontraS mendesak pemerintah lebih serius menangani masalah tersebut dan secepatnya mencari solusi yang menghargai hak-hak warga negara. Sejauh ini cara yang dilakukan pemerintah dinilai tidak mencerminkan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Andy Irfan.
Dijelaskan bahwa jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mampu menyelesaikan kasus tersebut, dia dinilai tidak layak menerima World Statesman Award yang diterima dari Appeal of Conscience Foundation, pada 30 Mei lalu.
Editor : Sabar Subekti
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...