60 Tahun Hubungan RI-Selandia Baru, Isu Papua Tetap Sensitif
WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM - Selama 60 tahun hubungan bilateral Indonesia dengan Selandia Baru, isu Papua tetap menjadi isu sensitif yang sering diangkat dalam forum-forum yang melibatkan kedua negara.
Hal itu juga tampak ketika Dubes RI untuk Selandia Baru, Tantowi Yahya, berbicara di hadapan 50 anggota Asia Forum di Wellington pada Senin sore (26/02) dalam rangka memperingati hubungan bilateral Indonesia-Selandia Baru yang tahun ini memasuki usia ke 60.
Dalam paparannya, Dubes Tantowi mengungkapkan menghargai hubungan harmonis yang selalu mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dalam hubungan bilateral kedua negara. Namun, seusai mendengar paparan Dubes Tantowi selama 45 menit dan diberi kesempatan untuk bertanya, para peserta menggunakannya untuk mengangkat isu-isu sensitif, seperti soal toleransi umat beragama, radikalisme dan isu Papua.
Menurut siaran pers Kedubes RI untuk Selandia Baru, dikutip dari situs resmi Kementerian Luar Negeri, para peserta menanyakan perihal "kebenaran beberapa berita dari media massa Selandia Baru tentang toleransi umat beragama, radikalisme dan isu Papua."
Siaran pers tersebut tdak melaporkan bagaimana penjelasan Dubes Tantowi perihal isu-isu itu. Hanya disebutkan bahwa "Dubes Tantowi menjelaskan tiga isu sensitif tersebut secara runut, komprehensif dan disertai dengan data dan fakta pendukung yang aktual."
Isu-isu yang menyangkut Papua, di antaranya sorotan terhadap pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri (self determination) rakyat Papua, diakui cukup banyak mendapat perhatian di Selandia Baru.
Pertengahan tahun lalu, sebagaimana dilaporkan oleh sejumlah media, setelah tiga bulan pertama bertugas di Selandia Baru, Dubes Tantowi mengatakan kampanye pemisahan Papua dari RI sangat gencar di negara itu.
Ia menyarankan Indonesia harus melakukan strategi total football mengimbanginya, "jangan cuma diserahkan kepada Kementerian Luar Negeri."
Lebih jauh, ia menyayangkan adanya kegiatan nonakademik di kampus negara itu, yang berisikan kampanye politik dan diskusi tidak berimbang terkait isu Papua.
Menurut Tantowi, yang melakukan kampanye pemisahan Papua tersebut bukan warga Papua tetapi orang-orang non Papua.
Ia mengatakan hal seperti ini seharusnya tak boleh ditolerir apalagi difasilitasi pihak kampus.
Perhatian Selandia Baru terhadap isu Papua bahkan telah sampai ke level pemimpin puncak negara itu. Tahun lalu, PM Selandia Baru saat itu, John Key, berkunjung ke Jakarta dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Ia mengangkat isu Papua dalam pembicaraan mereka.
Seusai pertemuan, Key mengkonfirmasi bahwa dalam pertemuan tersebut ia mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua kepada Jokowi. Ia bahkan mengatakan Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.
"Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang," kata Key ketika itu.
Key memastikan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan RI atas Papua. "Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru."
Ketika Jacinda Ardern terpilih dan kemudian dilantik menjadi perdana menteri yang baru Selandia Baru, Oktober lalu, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kelompok yang oleh pemerintah dipandang sebagai kelompok separatis, mengirimkan surat yang berisi seruan agar negara tersebut meninjau ulang kebijakannya atas Indonesia, khususnya menyangkut Papua.
Dalam suratnya, Sekjen ULMW ketika itu, Octovianus Mote, meminta Selandia Baru memfasilitasi dialog antara RI dengan ULMWP.
Jacinda Ardern terpilih menjadi perdana menteri berkat dukungan Partai Buruh dan partai-partai koalisinya. Salah satu rekan koalisi partai itu adalah Partai Hijau, yang selama ini gencar menyoroti Papua.
Partai Hijau menjadi inisiator deklarasi dukungan bagi pembebasan Papua yang ditandatangani oleh 11 anggota parlemen Selandia Baru tahun lalu. Para anggota parlemen tersebut yang menandatangani deklarasi berasal dari empat partai yang berbeda.
Sejauh ini belum pernah ada pernyataan resmi Jacinda Ardern tentang isu Papua. Namun, Desember lalu, Kementerian Luar Negeri negara itu memberikan briefing kepada sejumlah anggota parlemen yang tergabung dalam Komite Urusan Luar Negeri, Pertahanan dan Perdagangan. Briefing tersebut terkait isu Papua.
Salah seorang anggota parlemen pendukung pemerintah, Louisa Wall, menanyakan perihal apa yang kala itu menjadi pemberitaan luas, yaitu petisi menuntut diadakannya referendum Papua, yang oleh tokoh ULMWP, Benny Wenda, diklaim telah diserahkan kepada komite dekolonisasi PBB atau C24.
Menjawab peetanyaan tersebut, pejabat Kemenlu Selandia Baru yang memberikan briefing menjelaskan bahwa bila Papua akan ditambahkan ke dalam daftar dekolonisasi kembali (seperti pada tahun 1960-an), harus melalui sebuah resolusi di Majelis Umum PBB.
"Masalahnya saat ini sebenarnya tidak ada jalan kembali untuk masuk ke C24 jika diblokir oleh C24 - Indonesia (yang merupakan anggota C24) harus setuju," kata Stephen Harris, Direktur Divisi Asia Selatan dan Tenggara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan, dikutip dari radionz.co.nz.
Menjawab pernyataan Louisa Wall bahwa isu Papua sangat luas diperbincangkan di Pasifik dan kemungkinan negara-negara Pasifik akan memperjuangkan memasukkan Papua ke daftar dekolonisasi, Harris mengatakan Selandia Baru lebih memberi perhatian pada isu pelanggaran HAM di Papua (ketimbang isu penentuan nasib sendiri). Dan isu tersebut akan diangkat di tingkat menteri.
Sebelumnya, salah satu anggota parlemen senior dari Partai Buruh, David Parker, yang kemudian menjadi Jaksa Agung Selandia Baru, berbicara tentang kebijakan partainya terkait dengan Papua.
"Ketika Partai Buruh menjadi partai yang meemerintah, kami akan mengambil kesempatan untuk meninjau kembali kebijakan mengenai Papua, dengan maksud untuk mengeksplorasi otonomi yang lebih besar bagi masyarakat Papua sesuai dengan keinginan masyarakat," kata Parker.
Hubungan Ekonomi Meningkat
Pada bagian lain paparannya, Dubes Tantowi mengatakan hubungan Selandia Baru dan Indonesia semakin meningkat di hampir semua bidang khususnya di kerjasama pendidikan, perdagangan, pariwisata dan kebudayaan.
Ekspor Indonesia ke Selandia Baru terus meningkat meski tetap defisit dalam neraca. Total nilai perdagangan kedua negara di tahun 2017 mencapai NZ$ 1.622.130 dengan ekspor Indonesia senilai NZ$ 752.696.
Jumlah turis Selandia Baru ke Indonesia meningkat tajam dari 75.000 ke 100.000 orang di tahun 2017 lalu.
Sementara turis Indonesia juga mengalami peningkatan dari 23.000 ke 28.000 orang tahun lalu.
Terkait masih rendahnya jumlah orang Indonesia yang berpergian ke Selandia Baru, Tantowi menjelaskan penyebabnya adalah minimnya promosi tentang Selandia Baru di Indonesia dan belum adanya konektivitas langsung yang reguler.
Dengan adanya penerbangan langsung musiman Auckland-Denpasar oleh Air New Zealand yang berlangsung antara Mei-Oktober, serta Emirates yang akan menerbangi Auckland-Denpasar mulai Juni tahun, jumlah turis dari dan ke kedua negara diyakini Tantowi akan meningkat tajam.
"Mudah-mudahan target 200.000 turis dari Selandia Baru akan tercapai sebelum 2020" jelas Tantowi yang juga Dubes RI untuk Samoa dan Kerajaan Tonga.
Asia Forum adalah lembaga non profit ternama di Selandia Baru yang berfokus pada peningkatan pemahaman tentang isu politik di Asia dan dampaknya pada perdagangan dan investasi dan juga untuk mendorong pertukaran pikiran antar anggotanya yang berasal dari latar belakang yang berbeda.
Sejak 1999, Asia Forum telah mengundang kepala perwakilan, pengusaha ternama, akademisi untuk berdiskusi tentang kiprah Selandia Baru di Asia.
Pada pertemuan di Wellington pada hari Senin lalu, Dubes Tantowi menjadi pembicara tunggal dengan tema: 60 tahun hubungan Indonesia dan Selandia Baru: apa yang unik dari hubungan ini dan apa masa depan untuk hubungan kedua negara. Acara ini dihadiri oleh diplomat, beberapa diantaranya adalah mantan dubes Selandia Baru untuk Indonesia, akademisi, tokoh masyarakat dan media.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...