70% Rumah Kristen di Baghdad Dirampas Sejak Perang Irak
BAGHDAD, SATUHARAPAN.COM - Seorang pejabat Irak di Baghdad menyatakan bahwa sekitar 70 persen rumah milik keluarga Kristen di Baghdad dirampas sejak terjadinya perang Irak di mana invasi dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat untuk menggulingkan Presiden Irak, Sadham Hussein pada tahun 2003.
Sementara itu, Robert Ewan dari Independen Catholic News, menyebutkan bahwa dua pertiga warga Kristen Irak melarikan diri dari negara itu sejak kekacauan yang dipicu oleh invasi ke Irak. Mereka tidak menjual properti, karena mereka melarikan diri dan berharap akan kembali ke tanah air mereka satu hari.
"Hampir 70 persen rumah milik keluarga Kristen di Baghdad telah disita secara ilegal," kata Mohammed al-Rubai dari dewan kota Baghdad. Dia mengatakan dalam sebuah wawancara TV, seperti dikutip ankawa.com.
"Rumah-rumah ini milik orang Kristen yang melarikan diri dari Baghdad, mereka mencari perlindungan dari serangan kekerasan yang menargetkan mereka dan rumah mereka," kata dia.
Penguasa dan Kelompok Kriminal
Rubai menambahkan bahwa individu yang kuat dan kelompok kriminal menguasai rumah-rumah yang ditinggalkan oleh orang-orang Kristen yang melarikan diri. Dia mencatat bahwa sebagian kasus menunjukkan penghuninya diusir.
"Dokumen-dokumen juga telah dipalsukan dan dibuat dokumen baru yang telah dibuat dan dijual pada agen perumahan," kata Rubai. "Banyak properti telah diambil secara ilegal oleh warga Irak lainnya. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa kedua belah pihak (pemilik asli dan baru) dapat mengajukan dokumen hukum atas properti yang sama."
Menurut Rubai, banyak rumah milik warga Kristen yang dirampas sebagian besar di wilayah Baghdad al-Wahda. "Organisasi non pemerintah, Baghdad Beituna (yang berarti Baghdad Rumah Kami), mengatakan kepada Ewan bahwa ada lebih dari 7.000 pelanggaran terhadap properti milik orang Kristen Irak di Baghdad sejak tahun 2003.
"Sebagian besar rumah milik orang Kristen yang meninggalkan Irak ke Eropa telah dirampas," kata Direktur Baghdad Baituna, Saad Jassim. "Sejak itu, kepemilikan dialihkan, dan rumah-rumah itu sekarang ditempati oleh komandan milisi dan politisi yang dekat dengan kekuasaan."
Gereja Juga Dirampas
Dalam laporan yang diterbitkan oleh situs berita Al-Araby al-Jadeed pada bulan Februari, Dewan Kehakiman Agung , otoritaspada peradilan Irak, meluncurkan investigasi atas masalah tersebut. Dalam sebuah pernyataan, Dewan menuduh anggota pemerintah yang terhubung ke mantan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki, mengambil properti di Baghdad dan Irak selatan secara ilegal, hal itu termasuk gereja-gereja dan biara-biara.
"Para perampas mengambil keuntungan dari keadaan kacau pada masa pemerintahan sipil AS di bawah Paul Bremer yang membatalkan keputusan kepemilikan tanah yang dikeluarkan di bawah pemerintah Saddam Hussein," tulis al-Araby.
"Individu yang kuat dan jaringan kriminal merampas properti, termasuk terhadap gereja-gereja dan biara-biara yang dibangun pada tahun 1970-an dan 1980-an. Mereka mengklaim tanah itu awalnya milik mereka, tetapi telah disita oleh Saddam," kata dia.
Menurut al-Araby, dewan mengeluarkan pernyataan dan berjanji untuk mengadili orang-orang yang secara ilegal merampas properti milik warga Kristen Irak.
"Semua properti yang dirampas, atau dialihkan kepemilikannya atau diambil alih atas dasar alasan etnis, agama, atau sektarian, atau dirampas tanpa remunerasi, akan diselidiki," tulis pernyataan dewan. "Pelaku akan bertanggung jawab dan para korban akan mendapatkan keadilan."
Al-Araby mencatat bahwa banyak orang Kristen Irak melarikan diri ke Eropa. Dewan mendorong mereka untuk mengajukan tuntutan hukum untuk mendapatkan kembali properti mereka jika mereka tidak mampu untuk melakukan perjalanan kembali ke Irak.
"Dalam hal terbukti bahwa properti dimiliki oleh orang-orang di luar Irak, pengadilan akan menerapkan langkah-langkah dan mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap penghuni yang ada saat ini sesuai dengan Pasal 438 UU pidana, dan mereka akan dimintai keterangan," tulis pernyataan dewan.
Hassan Menhem, mantan penasihat hukum pada Pusat Studi Demokrasi Baghdad mengatakan kepada al-Araby bahwa "masalahnya adalahkemanusiaan dan etika di atas segalanya."
"Jika masalah pengadilan berkompromi dalam masalah ini, akan jadi masalah kriminal dan menjauh dari politik, maka puluhan pemimpin akan dijebloskan ke penjara," tulis Menhem.
Bryan Amadeus Chandra, Sosok yang Cerdas dan Senang Menolong...
Jakarta, Satuharapan.com, Bryan Amadeus Chandra atau yang akrab dipanggil Bryan merupakan salah...