79 Tahun RI: Renungan Kemerdekaan
”Engkau tidak akan disebut lagi ’perempuan yang ditinggalkan, dan negerimu tidak akan disebut lagi ’perempuan terlantar, tetapi engkau akan dinamai ’perempuan kesukaan-Ku’ dan negerimu ’perempuan bersuami’, sebab TUHAN suka kepadamu, dan negerimu akan bersuami. Sebab seperti seorang pemuda menjadi suami seorang gadis, demikianlah Dia yang membangun engkau akan menjadi suamimu, dan seperti girangnya seorang mempelai melihat pengantin perempuannya, demikianlah Allahmu akan bergirang atasmu” (Yes. 62:4-5).
SATUHARAPAN.COM-Kutipan itu adalah nubuat Yesaya. Allah akan menyukai Israel. Allah akan bergirang menyaksikan keadaan Israel. Allah akan menyenangi Israel.
Membaca nubuat Yesaya, lalu mengaitkannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada 17 Agustus 2024 berusia 79 tahun, mungkin akan menerbitkan tanya, ”Apakah Allah berkenan dengan keadaan Indonesia sekarang ini?” Tentu, kita tak perlu gebyah uyah ’generalisasi’. Namun, tak mudah bagi kita untuk menilai bahwa Indonesia masih dalam keadaan baik-baik saja.
Misalnya, kisah perpolitikan terakhir saat Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, mengundurkan diri, para pengamat politik mensinyalir bahwa pihak istana tidak mungkin tidak campur tangan. Ada juga yang mengecam pemerintah. Bahkan, Ibu Megawati pun ikut nimbrung dengan mengatakan ada orang yang mau mengambil alih PDI Perjuangan. Sehingga, ujungnya dia sendiri ogah mundur dan masih mau menjadi ketua umum lagi.
Berkenaan dengan kisruh politik yang sekarang ini terjadi, pertanyaan yang layak diajukan: ”Kok mau?” Kalau banyak partai politik yang kompak menilai negatif pemerintah, pertanyaan yang sungguh layak dikemukakan: ”Kok mau-maunya?” Kalau harian Kompas menyatakan bahwa banyak partai politik yang tersandera kasus karena pengurusnya terindikasi korupsi. Yang salah, ya pengurus itu sendiri. Dan menjadi penting bagi kita untuk menyiapkan generasi yang jujur melangkah dan steril dari korupsi.
Masalah besarnya adalah orang cenderung menyalahkan keadaan. Situasi menjadi kambing hitam. Dan orang lain disalahkan. Dan semuanya ini terjadi karena ketiadaan prinsip yang jelas. Yang terjadi kemudian adalah kebakaran sendiri.
Dwikewargaan
Lalu bagaimana solusinya? Sederhana saja: ”Berikanlah milik Kaisar kepada kaisar dan milik Allah kepada Allah” (Mat. 22:21). Dengan cara begini Yesus Kristus hendak mengadakan bahwa setiap Kristen sejatinya memili dwikewargaan: warga negara sekaligus warga Kerajaan Allah. Dengan lugas, Yesus mengatakan bahwa mereka harus menjalani kehidupan negarawi secara serius. Pemerintah memiliki seperangkat aturan dan setiap warga negara wajib menaatinya.
Paulus, dalam suratnya kepada warga jemaat di Roma (Rm. 13:1-7), menegaskan bahwa identitas sebagai umat Allah tidak membebaskan warga jemaat di Roma untuk menjalankan kewajiban selaku warga negara. Betul mereka adalah warga Kerajaan Allah, namun yang tak boleh dilupa, mereka adalah warga Kerajaan Roma; dan tentu saja ada aturannya.
Lebih rinci, Paulus dalam suratnya mengajak para warga jemaat di Roma untuk menaati penguasa. Alasannya sederhana: tidak ada penguasa yang tidak berasal dari Allah. Dengan kata lain, keberadaan mereka sebagai penguasa bukan di luar kendali Allah. Alasan utama takluk kepada penguasa adalah karena mereka tidak di luar penguasaan Allah. Allah tetap Mahakuasa.
Bagaimana dengan penguasa korup? Tentu saja, Allah tidak menginginkan itu terjadi, namun kadang Allah mengizinkan itu terjadi untuk memberikan kesempatan bagi umat-Nya berperan lebih banyak. Apakah mereka diam atau berupaya—bersama dengan warga negara yang berkehendak baik—mengoreksi penguasa korup tadi.
Artinya, kita tidak diizinkan untuk melawan penguasa tanpa alasan. Pada titik ini kita dipanggil untuk menjadi sesama bagi penguasa kita. Jika salah, yang dikritik; kalau baik, ya dipuji.
Sehingga, bisa dimaklumi jika pada bagian berikut Paulus menyatakan bahwa selama orang percaya berbuat baik, mereka tidak perlu takut kepada penguasa. Dan Paulus menegaskan bahwa Allah menyuruh penguasa bekerja untuk kebaikan orang percaya.
Dalam perkataan lain, penguasa merupakan alat Allah, yang akan menghukum orang yang berbuat salah. Jika tidak ada yang penguasa atau tatanan hidup, bisa dipastikan dunia menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman. Sebab, setiap orang bisa berbuat seenak jidatnya.
Menarik pula disimak bagaimana Paulus mengajak warga jemaat di Roma untuk memandang para pejabat atau petugas kerajaan sebagai pelayan-pelayan Allah. Dan karena itu, warga jemaat di Roma diminta untuk menghormati mereka sebagai orang-orang yang diangkat Allah untuk mengusahakan kebaikan bersama.
Tak hanya kepada warga jemaat di Roma, kita, orang percaya abad ke-21, pun dipanggil demikian. Memang berkait pajak, mungkin kita pun kesal terhadap oknum-oknum pajak yang memperkaya diri sendiri. Namun, itu tidak boleh dijadikan alasan bagi kita untuk mengemplang pajak.
Tentu kita harus bersikap kritis terhadap perpajakan negeri kita sekarang ini. Akan tetapi, kritikan kita akan sungguh bergaung dan berdasar ketika kita telah menuntaskan tugas kita, yakni membayar pajak.
Panggilan Anak Negeri
Pada titik ini kita dipanggil untuk menjadi agen pemulih dan pembaru negeri. Dalam alenia penutup pidato di Pengadilan Belanda 9 Maret 1928, Bung Hatta berkata: ”Yang Mulia Tuan-tuan Hakim! Sekarang aku sedang siap menunggu keputusan Tuan-tuan tentang pergerakan kami. Kata-kata Rene de Clerq, yang dipilih pemuda Indonesia sebagai petunjuk, hinggap di bibirku: ’Hanya satu tanah yang dapat disebut Tanah Airku, Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu ialah usahaku’”
Bung Hatta menegaskan, tanggung jawab atas hitam atau putihnya Indonesia ada di pundak anak negeri. Kitalah anak kandung negeri ini. Cinta tanah air berarti mengasihi Indonesia sebagaimana Allah mengasihinya. Memberikan yang terbaik bagi negeri merupakan harga mati!
Kita bisa belajar dari Pak Subronto K. Atmodjo dan Pak Karatem. Mereka berdua pernah menjadi tahanan politik di Pulau Buru, namun kecintaan terhadap negeri tidak luntur. Mereka tetap menjalankan panggilan mereka sebagai komponis. Pak Subronto K. Atmodjo dengan lagunya hingga kini masih mengajak kita bernyanyi dengan gaya Jawa: ”Betapa kita tidak bersyukur bertanah air kaya dan makmur.” Lagu ini dicipta tahun 1979 dan beliau baru keluar dari tahanan Pulau Buru.
Sedangkan Pak Karatem pada tahun 1998 mengajak berefleksi: ”Tuhan, lihat bangsa kami diterjang gelombang ribut. Tolong kami mengatasi kemelut dan kehancuran.” Bahkan, ketika rezim pemerintahan Soeharto yang menahannya tumbang, Pak Karatem tidak bersukacita.
Mereka berdua sungguh mencintai Indonesia dengan caranya sendiri: Memberikan yang terbaik melalui profesi mereka. Sekali, cinta Indonesia adalah mencintai Indonesia sebagaimana Allah mencintainya. Caranya? Jujur melangkah!
Itulah yang akan mengubah Indonesia! Dan itulah yang membuat visi Yesaya tergenapi dalam diri Indonesia.
Editor : Sabar Subekti
Jenderal Rusia Terbunuh oleh Ledakan di Moskow, Diduga Dilak...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan pada hari Rabu (18/12) bahwa Rusia ...