80 Persen Kaum Muda berpaham Radikal Menolak Pancasila menjadi Ideologi Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai mengatakan bahwa paham radikalisme ditanamkan di dunia pendidikan melalui jenjang Perguruan Tinggi dan Sekolah Negeri, dan ironisnya sekitar 80 persen mahasiswa menolak Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Jumlah tersebut berdasarkan hasil penelitian dari berbagai lembaga riset, yang meneliti responden kaum muda di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Di bidang pendidikan, ada salah satu penelitian yang mengatakan kalau ngga salah, tujuh puluh, atau delapan puluh persen, di mahasiswa di kampus itu menolak Pancasila menjadi ideologi negara, kata Ansyaad Mbai, dalam diskusi Publik dan Peluncuran Jurnal MAARIF, Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi, pada hari ini (3/7), di kantor Maarif Institute, Tebet, Jakarta.
Saya sangat kaget dari hasil penelitian itu, yang mengejutkan bahwa sekitar 50 persen kelompok responden itu sudah pernah melakukan aksi radikalisasi. Di mana radikalisasi itu ditularkan? Di tempat ibadah, ujar ketua BNPT, yang juga memaparkan hasil penelitian dari sejumlah lembaga riset Indonesia di hadapan Wakil Presiden (Wapres) Indonesia.
Selain itu, terjadinya radikalisasi terjadi juga di kampus-kampus yang terkenal di pulau Jawa. Setelah menjadi alumni, mereka yang radikal menularkannya kepada adik-adik atau siswa-siswa di Sekolah.
"Delapan puluh persen itu ada di kampus di Jawa, dan kampus yang paling top," tambah Ansyaad Mbai mengklarifikasi pertanyaan moderator siang itu, Alpa Amirrachman.
Senada dengan Ansyaad Mbai, pendidik dan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengatakan bahwa radikalisasi bukan saja di Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah saja tetapi juga di semua jenjang sekolah.
Pendidikan sekarang tidak plural, tetapi mengarah pada mono-agama, mono-kultural dan itu justru dibangun oleh guru-guru dan alumni. Alumni-alumni ini adalah mereka yang tadi, e.. tiba-tiba berubah radikal ketika berada di kampus. Kemudian, penyakitnya adalah bahwa ada link (jaringan), biasanya ada beberapa sekolah untuk mengundang mereka menjadi narasumber, atau untuk mendamping beberapa kegiatan sekolah, dan di situlah kemudian terjadinya proses radikalisasi itu, ungkap Retno Listyarti, yang mengenal beberapa guru-guru yang radikal.
Menghentikan Radikalisasi
Menurut Ansyaad Mbai, untuk menghentikan radikalisasi dimulai dari pendidikan dan peran guru untuk mengajarkan dengan baik Empat Pilar bangsa indonesia (Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia) melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
Ada lima fokus (BNPT). Salah satunya pendidikan, lembaga pendidikan saya kira substansif untuk menghentikan radikalisasi agama itu melalui Pendidikan. Pendidikan kita itu adalah kunci. Saya sangat mendukung program MPR untuk mengajarkan Empat Pilar, pendidikan kewarganegaraan dan peran guru-guru itu penting di situ. Diajarkan di sekolah-sekolah, Perguruan Tinggi, Sekolah Menengah dan Sekolah keagamaan," ujar pria kelahiran Buton, Sulawesi Tenggara, 65 tahun lalu.
Menurut nara sumber lainnya, Sosiolog Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Muhammad Najib Azca bahwa untuk menolak radikalisme dan terorisme itu perlu melakukan upaya-upaya lebih subsantif, di akar rumput, dan jangan serimonial saja.
Ada dua hal yang diusulkan Najib Azca berdasarkan refleksinya, pertama, melakukan kontra wacana, argumentasi, gagasan dan narasi, serta kedua, membuat relasi sosial yang majemuk.
Upaya-upaya membuat wacana tandingan, argumen, narasi tandingan mengenai kebenaran anti-terorisme, anti-radikalisisme. Misalnya, argumen mengenai kebenaran perjuangan kekerasan yang digunakan untuk membenarkan perjuangan para terorisme pada waktu jaman nabi. Kita juga menyajikan narasi tandingan dengan mengunakan narasi mengenai nabi yang anti kekerasan, kata Najib Azca, yang setuju menghentikan radikalisme melalui jalur demokratik.
Kedua, pentingnya membuat relasi sosial yang semakin majemuk, orang yang memiliki relasi lebih banyak dengan banyak orang atau banyak kelompok, maka kemungkinan besar akan menjadi radikal semakin kecil." ujar Najib Azca, yang memilki pengalaman berinteraksi dengan kelompok radikal.
Diskusi publik yang diselenggarakan MAARIF Institute kali ini dilatarbelakangi hasil riset yang telah dilakukan mereka pada tahun 2011 tentang Pemetaan Problem Radikalisme di 50 Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri, di empat daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo). Tahun 2013 ini, MAARIF Institute genap berusia 10 tahun, secara istimewa diluncurkan Jurnal Maarif Vol. 8. No. 1 - Juli 2013, Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi, dan catatan perjalanan MAARIF Institute selama 1 dekade.
Editor : Yan Chrisna
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...