9 Transgender Malaysia Dihukum Penjara (+Video)
KELANTAN, SATUHARAPAN.COM – Pengadilan Syariah di Malaysia menjatuhi hukuman pada sembilan perempuan transgender denda dan hukuman penjara 1-2 bulan. “Hukum ini diskriminatif yang melarang ‘laki-laki yang berlaku seperti seorang perempuan’,” kata Human Rights Watch, Senin (22/6) .
Otoritas keagamaan di negara bagian Malaysia di semenanjung Malaysia timur laut Kelantan menangkap perempuan dalam pengrebekan pada 16 Juni 2015, dan mereka mengaku bersalah pada hari berikutnya. Seorang pengacara mengajukan banding dan dua perempuan yang ditahan kemudian dibebaskan dengan jaminan sambil menunggu hasil persidangan.
Pengrebekan itu adalah insiden terbaru dalam pola penangkapan sewenang-wenang dan pelecehan perempuan transgender di Malaysia. Pemerintah negara bagian Malaysia harus segera menghapuskan hukum terhadap cross-dressing dan undang-undang yang diskriminatif lainnya terhadap lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), kata Human Rights Watch.
“Pemerintah Malaysia harus berhenti membawa para orang transgender ke pengadilan hanya karena diri mereka dan apa yang mereka kenakan,” kata Neela Ghoshal, peneliti senior hak LGBT di Human Rights Watch. “Pemerintah perlu menyadari bahwa kebebasan untuk mengekspresikan jenis kelamin Anda adalah sebagai hal fundamental seperti hak lainnya.”
Dalam keputusan pada November 2014, pengadilan banding di Putrajaya menghapus hukum negara “berpakaian seperti perempuan” dengan alasan bahwa hukum itu melanggar hak-hak konstitusional, termasuk hak untuk kebebasan berekspresi. Penerapan hukum Negeri Sembilan telah ditangguhkan, meskipun pemerintah negara bagian telah mengajukan banding atas keputusan untuk Pengadilan Federal. Tapi, 13 negara bagian lain di Malaysia dan Wilayah Federal tetap menerapkan undang-undang terhadap “cross-dressing” ini. UU “cross-dressing” ini digunakan untuk melawan para transgender.
Sembilan perempuan, yang dikenal sebagai mak nyah di Malaysia, sedang menghadiri pesta ulang tahun pribadi di sebuah hotel ketika para petugas dari Departemen Islam Kelantan (JHEAIK) menggerebek pesta dan menangkap mereka. Dalam setiap negara bagian di Malaysia, pejabat departemen agama bertanggung jawab untuk menegakkan undang-undang Syariah. Di Kelantan, UU Syariah bagian 7 Tahun 1985 menyatakan bahwa “setiap orang laki-laki yang, di tempat umum, memakai pakaian wanita dan bertindak sebagai seorang wanita harus bersalah karena melakukan kejahatan dan harus bertanggung jawab membayar denda tidak melebihi seribu ringgit atau penjara untuk jangka waktu tidak melebihi empat bulan atau keduanya.”
Aktivis hak transgender Malaysia mengatakan bahwa hukum cross-dressing tidak hanya melanggar konstitusi, tapi berkontribusi diskriminasi yang meluas dan kekerasan terhadap orang-orang transgender.
“Hukum terhadap laki-laki yang berlaku seperti perempuan tidak hanya menyangkal perempuan transgender di Malaysia terkait hak-hak dasar kami sebagai warga negara. Hukum ini juga berkontribusi terhadap lingkungan yang tidak bersahabat,” kata Nisha Ayub, seorang aktivis transgender dari kelompok HAM, Justice for Sisters. “Undang-undang ini membuat orang memandang kita sebagai penjahat. UU ini juga membuat kami menjadi objek penghinaan, kejahatan kebencian, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya.”
Dalam laporan tahun 2014, I’m Scared to be a Women: Human Rights Abuses Against Transgender People in Malaysia, Human Rights Watch mendokumentasikan pelanggaran hak oleh pejabat agama negara dan polisi termasuk penangkapan sewenang-wenang dan penahanan; kekerasan seksual, penyiksaan, dan penganiayaan; dan pemerasan uang dan seks. Human Rights Watch juga mengidentifikasi kasus kekerasan oleh warga negara, diskriminasi kerja, dan perlakuan stigma oleh petugas kesehatan.
Malaysia adalah salah satu dari sangat sedikit negara di dunia yang menghukum individu yang beridentitas gender berbeda dari jenis kelamin yang ditentukan kepada mereka saat lahir, hanya karena siapa mereka.
Meskipun transgender secara historis memiliki tingkat penerimaan yang tinggi di Malaysia, serangkaian inisiatif legislatif negara, dimulai pada tahun 1980, telah mengkriminalisasi mereka dan memaksa mereka hidup di bawah tanah. Di bawah undang-undang yang diskriminatif, transgender dapat ditangkap hanya karena mengenakan pakaian yang dianggap tidak berhubungan dengan jenis kelamin yang tertulis pada kartu identitas mereka.
Sidang Pengadilan Federal di Negeri Sembilan menantang konstitusionalitas undang-undang ini. Rencananya sidang dijadwalkan pada Agustus 2015. Jika menguntungkan, putusan dalam kasus ini, walau hanya mengikat di Negeri Sembilan, memiliki potensi untuk secara mendasar mengubah status hukum orang-orang transgender di seluruh Malaysia.
“Pihak berwenang Malaysia harus melindungi transgender dari diskriminasi,” kata Ghoshal. “Departemen Islam Kelantan harus segera membatalkan tuntutan terhadap sembilan perempuan, dan semua pemerintah negara bagian harus mencabut undang-undang yang diskriminatif itu.” (hrw.org)
Ikuti berita kami di Facebook
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...