Abbas Umumkan Penundaan Pemilu Palestina
Hamas Mengecam keputusan itu dan menyebutnya sebagai “kudeta”.
RAMALLAH, SATUHARAPAN.COM-Presiden otoritas Palestina (PA), Mahmoud Abbas, mengumumkan pada hari Jumat (30/4) pagi bahwa pemilihan Palestina pertama dalam 15 tahun akan ditunda. Dia mengutip perselisihan dengan Israel untuk membatalkan pemungutan suara di mana partai Fatahnya yang retak diperkirakan akan menderita kekalahan memalukan lainnya dari kelompok militan Hamas.
Namun Hamas mengecam langkah itu sebagai "kudeta". Penundaan tanpa batas waktu itu akan disambut secara diam-diam oleh Israel dan negara-negara Barat, yang memandang kelompok militan Islam itu sebagai organisasi teroris dan mengkhawatirkan kekuatannya yang semakin meningkat.
Bagi warga Palestina biasa, penundaan tersebut meninggalkan kepemimpinan politik yang telah lama berurat berakar yang telah gagal meningkatkan harapan mereka dan dinilai korup serta otoriter. Itu terkait harapan untuk kenegaraan, pemulihan dari konflik antara Fatah dan Hamas atau mencabut blokade di Jalur Gaza. Pemilihan presiden yang direncanakan pada bulan Juli juga tampaknya ditunda.
Abbas menegaskan bahwa pemilihan tidak dapat diadakan tanpa partisipasi penuh warga Palestina di Yerusalem timur. Israel belum mengatakan apakah akan mengizinkan pemungutan suara melalui surat di sana seperti dalam pemilihan sebelumnya dan telah memberlakukan larangan kegiatan Otoritas Palestina, termasuk acara kampanye.
"Menghadapi situasi sulit ini, kami memutuskan untuk menunda tanggal penyelenggaraan pemilihan legislatif sampai partisipasi Yerusalem dan rakyatnya dalam pemilihan ini dijamin," kata Abbas. "Tidak akan ada konsesi di Yerusalem dan tidak ada konsesi pada orang-orang kami di Yerusalem yang menjalankan hak demokratis mereka."
Nasib Yerusalem timur, rumah bagi situs-situs suci bagi orang Yahudi, Kristen, dan Muslim, adalah salah satu masalah paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina selama puluhan tahun. Tetapi menunda pemilihan atas Yerusalem juga bisa dilihat sebagai dalih, karena hanya sejumlah kecil pemilih di kota yang benar-benar memerlukan izin Israel. Saingan Abbas telah menyarankan solusi agar tidak memberi Israel hak veto yang efektif atas pemilihan umum.
Abbas mengatakan Otoritas Palestina telah berulang kali mencari jaminan dari Israel dan telah meminta Uni Eropa untuk memberikan tekanan, tetapi tidak berhasil. Dia mengatakan menerima surat dari Israel pada hari Kamis (29/4) yang mengatakan tidak dapat mengambil sikap dalam pemilihan karena belum memiliki pemerintahan setelah pemilihannya sendiri bulan lalu, yang keempat dalam dua tahun.
Hamas diperkirakan akan unggul dalam pemilihan parlemen 22 Mei mendatang karena perpecahan yang melebar di dalam Fatah, yang terpecah menjadi tiga daftar saingan. Kelompok militan mengecam penundaan tersebut, dengan mengatakan keputusan itu "tidak setuju dengan konsensus nasional dan dukungan rakyat dan merupakan kudeta."
Sikap Israel dan Barat
Sebelum pengumuman tersebut, Hamas telah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa Palestina harus mencari cara untuk "memaksa pemilihan di Yerusalem tanpa izin atau koordinasi dengan pendudukan."
Israel belum mengatakan apakah akan mengizinkan pemungutan suara di Yerusalem timur tetapi telah menyatakan keprihatinan tentang kekuatan Hamas yang semakin meningkat. Israel dan negara-negara Barat kemungkinan akan memboikot pemerintah Palestina yang termasuk kelompok tersebut.
Sehari setelah Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mendesak warga Amerika untuk "membuktikan bahwa demokrasi masih berfungsi" dalam pidatonya di depan Kongres, Departemen Luar Negeri AS menjauhkan diri dari pemungutan suara Palestina.
"Pelaksanaan pemilihan demokratis adalah masalah rakyat Palestina dan kepemimpinan Palestina untuk menentukan," kata juru bicara Ned Price kepada wartawan di Washington. “Kami percaya pada proses politik yang inklusif.”
Masalah Yerusalem Timur
Israel merebut Yerusalem timur, bersama dengan Tepi Barat dan Gaza, dalam perang 1967, wilayah yang diinginkan Palestina untuk negara masa depan mereka. Israel mencaplok Yerusalem timur dalam sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional dan memandang seluruh kota sebagai ibu kotanya, melarang Otoritas Palestina beroperasi di sana. Palestina menganggap Yerusalem timur sebagai ibu kota mereka.
Menurut perjanjian perdamaian sementara yang dicapai pada 1990-an, yang ditolak oleh Hamas, sekitar 6.000 warga Palestina di Yerusalem timur menyerahkan surat suara mereka melalui kantor pos Israel. 150.000 lainnya dapat memberikan suara dengan atau tanpa izin Israel.
Fatah mengatakan pemilihan tidak dapat diadakan tanpa Israel memberikan izin tegas bagi penduduk Yerusalem timur untuk memilih. Lawannya menyerukan solusi kreatif, seperti menyiapkan kotak suara di sekolah atau situs keagamaan.
Tapi Abbas tampaknya mengesampingkan hal itu, dan berseloroh dengan mengatakan bahwa Palestina tidak akan memilih di "Kedutaan Besar Hongaria."
Perselisihan tersebut semakin meningkat sejak awal bulan suci Ramadhan, karena pengunjuk rasa Muslim bentrok dengan polisi Israel atas pembatasan pertemuan.
Pemilu lesgislatif, dan pemilihan presiden yang direncanakan pada 31 Juli, menawarkan kesempatan langka bagi Palestina untuk memberdayakan kepemimpinan baru dan berpotensi memetakan jalan yang berbeda dalam perjuangan kemerdekaan mereka yang telah lama macet.
Masalah Hamas dan Fatah
Abbas yang berusia 85 tahun dan tokoh-tokoh Fatah lingkaran dalamnya, sekarang berusia 60-an dan 70-an, telah mendominasi Otoritas Palestina selama hampir dua dekade dan tidak melakukan banyak upaya untuk memberdayakan generasi pemimpin baru.
Pemilu terakhir, yang diadakan pada tahun 2006 dengan dukungan internasional dan kerja sama Israel, menyaksikan Hamas menang telak setelah berkampanye sebagai pihak yang tidak diunggulkan dan tidak ternoda oleh korupsi. Hal itu memicu krisis internal yang berpuncak pada penyitaan Hamas atas Gaza pada tahun berikutnya, yang membatasi otoritas Abbas di beberapa bagian Tepi Barat yang diduduki Israel.
Popularitas Hamas telah jatuh pada tahun-tahun berikutnya, karena kondisi di Gaza terus memburuk. Tapi kelompok itu tetap bersatu dan disiplin bahkan ketika Fatah telah terpecah menjadi tiga daftar parlemen saingan.
Hamas tidak mengakui hak Israel untuk hidup dan telah berperang tiga kali dengannya sejak merebut kendali Gaza. Mereka juga telah melakukan sejumlah serangan selama tiga dekade terakhir yang telah menewaskan ratusan warga sipil Israel. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...