Aceh Mulai Terapkan Hukum Adat Tanpa Pengadilan Negeri
MEULABOH, SATUHARAPAN.COM - Majelis Adat Aceh (MAA) menetapkan Kabupaten Aceh Barat sebagai daerah percontohan hukum peradilan adat di Provinsi Aceh, sebagai daerah yang pertama sekali menerapkan sistem hukum adat di setiap desa dalam menyelesaikan persoalan hukum tindak pidana ringan.
Terdapat 18 perkara yang penyelesaiannya dapat diselesaikan secara peradilan adat di desa tanpa harus dilakukan di persidangan Pengadilan Negeri, diantaranya terdiri dari perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh (ahli waris), perselisihan antarwarga, khalwat (mesum); perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat.
Kemudian, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat), pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), serta perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat-istiadat.
"Dengan adanya percontohan ini, nantinya Aceh Barat akan menjadi contoh bagi seluruh desa di Provinsi Aceh untuk menerapkan sistem aturan hukum ini," kata anggota Bidang Hukum Adat MAA Aceh, Abdul Malik Musa SH MHum di Meulaboh, Rabu (23/10).
Nantinya, bertindak sebagai majelis hakim dalam sistem peradilan adat ini dipimpin oleh kepala desa, dan sekretaris desa bertindak sebagai panitera.
Sedangkan unsur lain di desa seperti imam masjid/imam meunasah, tuha peut atau perangkat desa lainnya bertindak sebagai hakim anggota di setiap persidangan atau peradilan adat.
Menurutnya, sistem peradilan adat yang akan diterapkan di seluruh Aceh nantinya tidak akan terjadi benturan di masyarakat karena adat istiadat yang berlaku di Aceh hampir sama dengan adat yang ada di setiap kabupaten/kota di daerah itu.
Hal ini juga merujuk pada ketentuan keistimewaan Aceh di bidang agama, adat maupun pendidikan.
Majelis Adat Aceh berharap dengan pemberlakuan peradilan adat tersebut diharapkan setiap persoalan tindak pidana ringan (tipiring) yang terjadi di masyarakat, tidak perlu diselesaikan melalui aturan dan mekanisme hukum yang berlaku di tanah air.
Hal ini juga diharapkan mampu mendidik masyarakat Aceh agar semakin taat dalam mematuhi aturan hukum sekaligus menjadi pendidikan hukum bagi masyarakat agar sadar hukum, serta tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.
"Kalau ada hukum sendiri, untuk apa menerapkan aturan hukum lainnya," kata Abdul Malik Musa SH MHum menambahkan. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...