Achmad Nurcholish: Pemerintah Tidak Pernah Tegas Pada Konflik Antaragama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Saat ini kebhinekaan Indonesia sudah terkoyak-koyak karena tirani mayoritas terjadi di mana-mana, dan berbagai peristiwa yang bernuansa kekerasan akibat aksi massa intoleran yang tidak ditindak tegas oleh pemerintah.
Demikian dikatakan Achmad Nurcholish selaku Koordinator Bidang Penelitian ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), pada Selasa (24/9) saat ditemui satuharapan.com di ruang kerjanya di Jakarta Barat menanggapi masalah penutupan Gereja St. Bernadette, Ciledug pada Minggu (22/9)
“Sekarang kebhinekaan Indonesia seperti sudah terkoyak-koyak, dan tirani mayoritas terjadi di mana-mana seperti yang kemarin terjadi di Paroki Santo Bernadette itu,” kata penulis buku berjudul Masalah Pernikahan Beda Agama tersebut.
Achmad Nurcholish mengatakan bahwa peristiwa seperti penutupan Paroki Santo Bernadette tersebut hanya salah satu contoh kecil dari serangkaian peristiwa kekerasan bernuansa agama di Indonesia.
Nurcholish mengatakan bahwa peristiwa-peristiwa serupa akan berulang terus karena beberapa hal.
“Saya kira hal-hal seperti ini akan terulang terus, kalau, yang pertama hukum itu tidak benar-benar ditegakkan, dan, yang kedua pemerintah tidak pernah tegas, karena mereka bisa didikte oleh mayoritas. Kalau berharap hanya pada pemerintah maka saya pesimis, karena pada pemerintah saya tidak yakin karena mereka hanya politisi yang sepertinya tidak memikirkan hal-hal seperti itu,” menurut Nurcholish.
Nurcholish mengaitkan peristiwa tersebut dengan korelasinya kepada generasi muda yang pada hari Jumat (27/9) mendatang akan mengadakan Youth Camp, dan dia mengatakan bahwa masyarakat harus menjadi agent of change.
“Agar peristiwa seperti itu tidak terulang, oleh karena itu masyarakat sendiri harus menjadi agent of change sekaligus sebagai peace building, dan peace maker tersebut harus dimulai dari yang muda-muda, karena mereka yang tergolong dalam massa intoleran atau garis keras itu pengerahan dan rekrutmennya sangat massif, mulai dari anak-anak SMA hingga perguruan tinggi mereka sudah punya pola pembinaan yang sangat rapih,” kata Nurcholish.
Nurcholish menyarankan bahwa saat ini organisasi keagamaan garis keras atau massa intoleran akan lebih banyak melakukan rekrutmen, dan rutin, sehingga para pegiat dan aktivis perdamaian harus bekerja dua kali lebih cepat daripada massa intoleran tersebut.
“Nah kalau dari kalangan yang lebih mengedepankan toleransi dan perdamaian kita tidak bekerja pada seperti itu, maka kita akan ketinggalan oleh langkah-langkah mereka. Para pegiat perdamaian harus bekerja keras, karena tujuan massa intoleran itu sebenarnya mudah terdeteksi karena mereka ingin Indonesia hanya satu warna, tidak banyak warna dan ini merupakan masalah yang serius,” kata Nurcholish.
Seperti pemberitaan satuharapan.com sebelumnya pada Senin (23/9) menyebutkan bahwa Gereja Paroki St. Bernadette di Bintaro, Tangerang Selatan, didemo oleh ratusan pendemo yang mengatasnamakan warga sekitar pada hari Minggu (22/9). Para pengunjuk rasa menggembok pintu masuk gereja dari luar, sebagai tanda bahwa gereja itu tidak boleh lagi digunakan. Menurut Paulus, para pendemo datang dengan mengenakan pakaian berwarna putih dan ikat kepala berwarna merah
Umat Katolik Paroki St Bernadet Ciledug beribadat di BSS (Bangunan Sekolah Sementara) Sang Timur, setelah mendapat izin dari Lurah Karang Tengah dengan Surat Rekomendasi Nomor 192/Pem/VII/1992, tertanggal 21 Juli 1992. Sejak itu, BSS menjadi pusat kegiatan umat katolik paroki tersebut.
Namun, pada Minggu, 3 Oktober 2004, massa yang menyebut masyarakat sekitar melakukan demonstrasi dan meminta tempat tersebut tidak lagi digunakan untuk ibadah. Mereka bahkan membangun tembok di pintu gerbang menuju sekolah itu, dan memblokir akses ke sekolah.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...