Ada Gentleman Agreement Pemerintah-KPK dalam Revisi UU KPK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarif, mengungkapkan ada gentleman agreement (kesepakatan tidak tertulis) terkait revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) antara pemerintah dan Pelaksana tugas (Plt) Pemimpin KPK.
Menurut Laode, kesepakatan yang diambil sebelum pemimpin KPK periode 2015-2019 dilantik itu mencakup empat poin. Pertama, KPK diizinkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Kedua, penyadapan boleh dilakukan KPK tanpa izin ke pengadilan terlebih dahulu. Ketiga, pembentukan dewan pengawas etika. Kemudian yang terakhir, KPK diberikan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Sebelum kami terpilih, ada namanya gentleman agreement antara pemerintah dan Plt pemimpin KPK soal revisi UU KPK. Saat itu disepakati empat poin,” kata Laode dalam acara Seminar dan Diskusi Publik 'Pemberantasan Korupsi yang Memberikan Efek Jera' dalam rangka perayaan hari ulang tahun pertama Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi, di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jalan Rasuna Saif, Jakarta Selatan, hari Kamis (18/2).
Menurutnya, keberdaan kesepakatan tersebut baru diketahui jajaran pemimpin KPK periode 2015-2019 setelah dilantik. Namun, kata Laode, pihaknya diizinkan untuk menolak kesepakatan tersebut, bila menilai empat poin yang nantinya dituangkan dalam revisi UU KPK akan melemahkan lembaga antirasuah.
“Mereka (Plt pemimpin KPK) katakan gentleman agreement itu pada periode mereka. Kalau kami anggap tidak sepaham, kami boleh tidak mengikutinya,” ucap dia.
Namun, Laode melanjutkan, mencermati draf revisi UU KPK yang diberikan Badan Legislasi DPR kepada pihaknya, norma-norma atau pasal-pasal yang tertuang justru menjurus pada pelemehan lembaga antirasuah. Karena, KPK justru harus meminta izin dewan pengawas untuk melakukan penyadapan, KPK tidak boleh mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri, kemudian pemilihan dewan pengawas etika KPK dilakukan oleh presiden, dan KPK diberikan kewenangan menerbitkan SP3.
Dia pun mengaku telah melayangkan surat penolakan draf revisi UU KPK kepada Badan Legislasi DPR. Sebab, Laode menilai, selain draf yang ada tidak mengandung poin penguatan KPK, draf tersebut juga tidak melalui proses pembuatan naskah akademik yang tepat.
Sebagai salah satu pemimpin KPK, Laode pun merasa Badan Legislasi DPR tidak pernah mengajak lembaganya berdiskusi. Padahal, lembaganya yang nanti akan menjalankan UU tersebut. “Kami tidak terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK, kami menolak dengan beberapa alasan,” katanya.
Masalah Penyadapan
Misalnya, dia mencontohkan, terkait penyadapan yang dilakukan secara sah atau atas nama hukum (lawful interception), harus tetap diberikan kepada KPK. Sebab, kata dia, Indonesia telah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang upaya melawan korupsi.
Laode melanjutkan, dalam pasal 59 konvensi tersebut, bahkan mengizinkan adanya investigative electronic dan undercover operation. Menurutnya, pasal itu pun sudah pernah di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal tersebut konstitusional karena diberikan berdasarkan UU.
“Di dunia ada dua lawful interception, satu lewat pengadilan, kedua lewat regulasi. KPK diberi kewenangan oleh UU dan oleh Mahakamah Konstitusi ini dianggap tidak betentangan. Jadi kami anggap ini adalah satu hal yang perlu dipertahankan,” ujarnya.
Di akhir pemaparanya, Laode berharap jumlah fraksi yang menolak revisi UU KPK di DPR bisa bertambah. Dia bersyukur, sudah ada tiga fraksi (Partai Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat) yang menolak revisi UU KPK.
"Alhamdulillah pertama sikap satu partai yang menolak, sekarang sudah tiga partai yang menolak. Insya Allah mendapatkan hidayah dari Allah yang maha kuasa," katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...