Ada Kekurangan, Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Hanya dari Satu Pihak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berat dinilai sebagai ada kekurangan (flaw), karena diobsesi yang bermuara pada pengakuan dan penyesalan sepihak.
Hal itu diungkapkan oleh Agus Wijodjo, anak Mayjen TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo, korban tindakan PKI (Partai Komunis Indonesia) tahun 1965, di mana itu merupakan salah satu peristiwa pelangaran HAM berat yang disebutkan Jokowi.
Agus Widjojo yang sekarang menjabat Duta Besar Indonesia di Manila, Filipina, dalam wawancara dengan satuharapan.com mengatakan pengakuan dan penyesalan itu hanya sepihak, yaitu dari negara. “Simpulan tim tidak meng-address kekejaman PKI sedikitpun. Bagaimana dengan korban keganasan PKI? Tidakkah pihak PKI mengakui dan mempunyai rasa penyesalan dan menyatakan pengakuan bahwa mereka juga telah melakukan tindak kekerasan?” katanya, hari Jumat (13/1) melalui telefon.
Pada hari Rabu (11/1) Presiden menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta, dan menyebutkan ada 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi selama ini dari 1965 sampai 2003.
“Kalaupun tanggung jawab diambil alih oleh negara, harus ada pernyataan itu dengan referensi kepada pembunuhan yang dilakukan oleh PKI. Bila tidak, hasil tim ini tidak meng-address solusi guna mengakhiri polarisasi dendam yang ada pada masyarakat antara "fihak PKI" dan anti komunis,” katanya.
Penyelesaian non yudisial yang dimaksud di sini bukan berpuncak kepada pernyataan "pengakuan" dan "penyesalan" seperti pemerintah Australia kepada Aborigin atau pemerintah Belanda (kepada Indonesia?), tetapi lebih kepada model peniupan pipa perdamaian bersama antara suku Indian Amerika dengan golongan kulit putih yang beremigrasi dari Eropa untuk membangun masyarakat baru Amerika yang inklusif dan setara dengan menghapus dendam di antara kedua kelompok yang bertikai di masa lalu.
“Saya adalah salah satu keluarga yang menjadi korban keganasan PKI. PKI bukan hanya korban. Tangan PKI juga berlumuran darah dengan pembunuhan terhadap kaum ulama, TNI, pejabat pemda Jawa Timur pada tahun 1948 dan keluarga Pahlawan Revolusi,” katanya.
Perlu Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi
Menurut Agus, yang diperlukan adalah proses rekonsiliasi, dan tahapan yang paling penting untuk itu adalah mengungkap kebenaran, pengakuan dari para pihak, dan penyesalan dari para pihak. Dari situ akan bisa dilakukan reparasi, apakah berupa reformasi kelembagaan (karena ada penyalahgunaan wewenang), sanksi, dan pemulihan.
Tidak adanya pengungkapan kebenaran dari para pihak itulah yang disebut Agus proses ini sebagai memiliki kekurangan. Sebab masih ada hal yang kosong: apa yang diakui, apa yang disesalkan? Ada kesan ini ingin cepat selesai, ingin cari gampang, memenuhi janji dan ada nuansa pencitraan.
Bagaimanapun, Agus Widjojo, salah satu penasihat Forum Silaturahmi Anak Bangsa, forum yang didirikan pada tahun 2003 yang mempertemukan anak-anak korban konflik politik tahun 1965, menilai langkah pemerintah sebagai hal yang baik. Ini ada kemauan politik yang baik untuk proses rekonsiliasi.
Namun, menurut dia, perlu langkah mundur untuk proses rekonsiliasi sesungguhnya dengan pengungkapan kebenaran melalui pengakuan dan penyesalan para pihak. “Ini memang sudah lama didiskusikan, jadi ‘gerbong kereta api’ ini perlu mundur dulu, untuk membuat konsep yang rekonsiliatif,” katanya.
Penyelesaian Non Yudisal
Tentang proses penyelesaian non Yudisial, menurut Agus, karena pengakuan dan penyesalan hanya dari satu pihak, dan itupun banyak memiliki elemen yang kosong, akan sulit untuk penyelesaian non Yudisial, dan pemulihan yang dijanjikan pemerintah. Apa yang diakui dan apa yang disesalkan masih belum jelas.
Menurut Agus Widjojo, juga pernah menjabat sebagai anggota Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI-Timtim yang menangani dugaan pelanggaran HAM Indonesia di Timor Timur, pada kasus pelanggaran HAM berat di mana korban dan pelakunya masih ada, dan ada bukti-bukti yang lengkap, dapat dilakukan proses yudisial.
Pemerintah mengungkapkan ada 12 pelanggaran HAM berat, yaitu: 1, Peristiwa 1965-1966; 2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; 3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; 4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; 5. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998; 6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; 7. Peristiwa Trisakti dan Semanggi I – II 1998-1999; 8. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; 9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; 10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002; 11. Peristiwa Wamena, Papua 2003; dan 12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Pemulihan Korban
Presiden Joko Widodo menjanjikan untuk tidak terjadi lagi pelanggaran HAM berat di kemudian hari, dan juga pemerintah berupaya untuk memulihkan para korban. Tentang ini, Agus Widjojo mengatakan bahwa korban pelanggaran HAM berat jangan menyandera dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi.
“Kita tidak akan dapat memulihkan kembali pada kondisi sebelumnya. Misalnya, orang mati tidak mungkin dihidupkan kembali,” katanya.
Yang diperlukan adalah pemulihan dalam relasi, dan tidak lagi ada pengecualian atau diskriminasi pada para pihak. Menurut dia, pemerintah perlu mengambil kebijakan untuk proses pemulihan ini.
Agus Widjojo juga mengritik bahwa telah terjadi inflasi pada istilah pelanggaran HAM berat. “Sedikit-sedikit pelanggaran HAM berat,” katanya.
Menurut dia, istilah pelanggaran HAM berat mencakup tindakan yang terencana, dan ini oleh negara. Yang dilakukan secara massif, dan sistematis. “Ini tidak dapat dilakukan begitu saja oleh individu,” kata Agus Widjojo yang pernah menjadi penggagas sekaligus Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional membedah Tragedi 1965 yang diadakan melalui Kemenkopolhukam pada tahun 2016.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...