Ada Kepentingan Bisnis Dibalik Aksi Demo Miss World 2013 yang Mengatasnamakan Agama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dipindahkan ke Bali, ajang kompetisi Miss World tetap berjalan. Berdasarkan pantauan dari beberapa media, hari ini, Sabtu (14/9) kembali diadakan aksi demo di Bundaran HI oleh Front Pembela Islam (FPI) menolak kontes kecantikan yang tengah berlangsung di Bali tersebut. Menurut Rhenald Kasali, Guru Besar UI sekaligus founder rumahperubahan.com, ancam-mengancam rupanya masih mewarnai kehidupan kita sehari-hari.
Ribuan remaja putri Jakarta yang sudah lama menunggu untuk menyaksikan ajang kompetisi tersebut tentu kecewa, begitupun ormas-ormas yang sudah siap menyerang. “Maklum ongkos orang-orang Jakarta untuk buat ribut di Bali terlalu mahal,” tambah Rhenald.
Putu Setia yang merupakan Tokoh Masyarakat di Bali, menuliskan sebuah ulasan bahwa kontes itu sudah mendapat restu dari Jero Gede Suwena, Ketua Majelis Ulama Desa Pakraman (MUDP) di Bali. “Harap maklum, MUDP membawahi ribuan pecalang (petugas keamanan desa adat), rasanya tidak mungkin FPI datang ke Bali dan main uber-uberan," tulisnya.
Jadi Berita Dunia
Ajang ini menjadi pemberitaan dunia, tetapi bukan soal Miss World-nya, melainkan soal aksi demo tersebut. Jika kita baca berita yang ditulis media-media asing, dengan jelas kita tahu apa yang terjadi di sini menjadi perhatian dunia.
Ada Miss World ada Miss Universe, dan tentu ada banyak ajang kompetisi lain yang menarik perhatian dunia. Jangankan pemilihan wanita tercantik sedunia, penetapan lokasi keajaiban dunia seperti Pulau Komodo juga selalu menarik perhatian dunia.
Menurut Rhenald, merupakan hal yang keliru jika kontes-kontes kecantikan disamakan dengan pameran maksiat. Hal ini terjadi jika yang dilakukan hanya fokus pada bentuk tubuh, ukuran buah dada, bentuk tubuh bagian belakang, dan seterusnya.
Ada Bisnis Besar di Balik Kelompok yang Mengatasnamakan Agama
“Masyarakat kita juga tengah bergeser dari capres ganteng, ke capres-capres yang genuine, lincah, dinamis dan berani menhadapi risiko. Kita juga menyaksikan audience TV mulai lebih suka mereka yang tidak tampan namun authentics seperti Slank, Sule dan Azis, Uya Kuya, Tukul Arwana. Di sini dan di seluruh dunia tengah beralih dari melihat fisik menjadi melihat kejujuran, kesederhanaan, keaslian, keanggunan. Dan membaca arah audience adalah bisnis.” jelas Rhenald.
Ajang Miss World adalah sama dengan ajang menampilkan grup-grup band. Motifnya hanya satu, bisnis. Serang-menyerang, ancam-mengancam, meski dibalut sorban dan mengatas namakan agama, motifnya juga tetap sama, bisnis.
“Saya masih ingat, saat mahasiswa saya, seorang polisi bintang satu mengatakan alasan di balik keributan penolakan kehadiran pergelaran Lady Gaga di sini. Semua mahasiswa mengajukan alasan moral dan agama. Tetapi polisi senior itu dengan berani menunjukan fakta-fakta bahwa semua itu berawal dari kurangnya ‘sesajen’. Panitia penyelengara tidak bisa memenuhi keinginan para penekan, maka kesepakatan pun gagal.” ungkap Rhenald.
“Sebuah gerai modern yang buka 24 jam, tahun lalu juga banyak diberitakan menjual miras sehingga didemo berulang-ulang oleh ormas bersorban agama. Belakangan, demo itu hilang dengan sendirinya. Sewaktu saya tanya, pemilik gerai waralaba itu mengatakan, “sudah kami selesaikan”. Mereka ternyata hanya meminta jatah lahan parkir saja. Itu sedikit merepotkan, karena sebelumnya sudah ada kelompok ormas lain yang dapat jatah di lokasi lain.” tambahnya.
Ajang Bisnis di Luar Negeri
Di luar negeri sendiri ajang Miss World dan Miss Universe adalah ajang bisnis. Ketika jutaan mata memandang, maka disitu ada kontrak iklan, sponsor produk, kontrak artis jangka panjang, nilai besar yang juga harus dibayarkan penyelenggara lokal (terkait dengan promosi wisata negara yang jadi tuan rumah), dan lain sebagainya.
Seorang mantan Putri Indonesia yang baru pulang dalam kontes Miss Universe di luar negeri bercerita, bagaimana mungkin dirinya bisa menang kalau panitia lokal tidak berani ‘deal bisnis’ dengan Donald Trump?. “Sejak awal saya sudah melihat kemana arah mata pemilik program, dan dialah pemenangnya,” ujar mantan Puteri Indonesia tersebut.
Ketika semua orang membanding-bandingkan kecantikan dan kecerdasan, kita lupa bahwa di balik semua itu ada orang yang mengambil keputusan mutlak. Mereka juga punya deal bisnis dengan para manajer yang bisa menjanjikan kontrak-kontrak besar. ‘Cantik’, sama dengan ‘pintar’, bisa di rekayasa karena semuanya ada di benak orang dan sugestinya bisa dibuat melalui televisi dan sosial media. Demikian pula kesan religius, bisa direkayasa.
Dengan kejadian ini seharusnya mata batin kita juga bisa melihat, siapa saja yang benar-benar menjalankan prinsip-prinsip moralitas. Biasanya, semakin luas ancaman disuarakan, semakin jelas motif dibelakangnya. Indonesia perlu lebih berani melawan tekanan-tekanan bisnis yang dibungkus simbol agama. Indonesia juga harus lebih berani melihat motif-motif ekonomi di balik semua kepentingan. (rumahperubahan.co.id).
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...