Perempuan Korban KDRT Rentan Dikriminalisasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2004 yang semestinya melindungi perempuan dan anak sebagai pihak paling rentan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) justru digunakan untuk mengkriminalisasi perempuan korban KDRT. Seperti disampaikan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada hari Kamis (12/9).
Hal ini diakibatkan aparat penegak hukum (APH) tidak mempertimbangkan relasi timpang suami dan istri, juga anak, dalam menerapkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Perempuan korban tidak mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Kasus EN menjadi perhatian publik beberapa hari ini karena harus menghadapi hukuman penjara selama 4 (empat) bulan adalah contoh situasi yang memprihatinkan tersebut.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa UU PKDRT adalah terobosan hukum penting untuk menghadirkan keadilan di Indonesia. UU PKDRT merupakan salah satu wujud komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Ini sejalan dengan komitmen negara setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984.
Sejak UU PKDRT diterapkan, Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa semakin banyak perempuan yang berani melaporkan kasusnya dan mencari keadilan. Sejak lima tahun terakhir, data tentang KDRT, khususnya kekerasan terhadap istri (KTI) menjadi mayoritas kasus yang ditangani lembaga layanan.
Sepanjang tahun 2012 saja, tercatat 8.315 kasus KTI atau 66 persen dari kasus yang ditangani. Hampir setengah, 46 persen kasus adalah kekerasan psikis, 28 persen kekerasan fisik, 17 persen kekerasan seksual, dan 8 persen kekerasan ekonomi. Bentuk KDRT lain yang tengah marak dilaporkan dilakukan oleh pejabat publik adalah berupa kejahatan perkawinan.
APH juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai.
Komnas Perempuan juga menerima laporan APH memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus kekerasan dan memberi efek jera kepada pelaku. Sejumlah APH juga mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan dijalani dan akibat hukumnya. Situasi ini menyebabkan korban terintimidasi sehingga banyak korban mencabut laporannya atau meminta APH menghentikan proses kasus atas kekerasan yang dialami.
Di dalam perkembangannya, perempuan dalam posisinya sebagai istri yang melaporkan kekerasan yang ia alami rentan kriminalisasi. Korban dilaporkan kembali oleh suaminya dengan pelbagai alasan, termasuk kekerasan, pengabaian keluarga, juga pencemaran nama baik. Data pengaduan masuk ke Komnas Perempuan tahun 2011- Juni 2013 menunjukkan bahwa 60 persen korban KDRT mengalami kriminalisasi, 10 persen dikriminalkan melalui UU PKDRT hingga menjadi narapidana.
Seperti kasus EN yang pada tahun 2013 Peninjauan Kembalinya ditolak Mahkamah Agung dan diputus dengan hukuman 4 (empat) bulan penjara. Sebelumnya juga ada kasus-kasus lain, seperti DA yang telah dijatuhi hukuman 6 (enam) tahun penjara, serta TM yang dijatuhi hukuman tahanan rumah selama 30 (tiga puluh) hari, di rumah tempat tinggal TM dan suami. Padahal rumah tersebut demi menghindari kekerasan suami, telah ditinggalkan TM dan anak-anak, mereka tinggal di Rumah Aman untuk para korban KDRT dengan status dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Situasi kriminalisasi ini terjadi karena aparat penegak hukum (APH) dalam menerapkan UU PKDRT justru belum menjalankan perintah UU PKDRT, yaitu untuk melakukan analisis hubungan timpang suami istri yang mengakibatkan terjadinya siklus kekerasan di dalam pasangan tersebut dalam penanganan perkara.
Perkara KDRT kerap diperlakukan sebagaimana kasus kriminal lainnya sehingga APH hanya menggunakan perspektif normatif dan mendasarkan pada pemenuhan unsur-unsur delik pidana dan pengumpulan saksi serta alat bukti. Karena itu, ketika terjadi pelaporan balik oleh pihak suami yang sebelumnya telah melakukan kekerasan, APH meletakkan posisi perempuan korban justru sebagai pelaku kekerasan tanpa mengindahkan fakta kekerasan gender dalam relasi rumah tangga.
Situasi ini tampak dalam proses peradilan dari sejak tingkat penyidikan hingga putusan pengadilan. Kriminalisasi perempuan korban KDRT merupakan bentuk diskriminasi terhadap korban dan melanggengkan praktik pelanggaran hak perempuan di ranah privat.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...