“Adili Pilkada, MK Jangan Sekadar Mahkamah Kalkulator”
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peran Mahkamah Konstitusi (MK) menegakkan prinsip jujur dan adil (jurdil) dalam pilkada dianggap urgent dan penting adanya. Hal ini disampaikan langsung oleh berbagai gerakan masyarakat sipil yang peduli mengenai hal ini dalam diskusi dan pernyataan sikap “Peran MK dalam Menegakkan Jurdil Pilkada”, hari Senin (11/1), di Jakarta Pusat.
“Semua ini harus dimulai dari pertanyaan apakah pelaksanaan pilkada betul-betul dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh undang-undang, yang secara umum disebut dengan prinsip jurdil, dan apakah setiap pasangan calon yang melakukan kegiatan kampanye pilkada betul-betul menjunjung prinsip-prinsip ini. Hal ini merupakan penting dan sangat urgent. MK tidak boleh hanya melihat hasil akhir pilkada dengan membatasi diri hanya pada penanganan sengketa selisih suara yang tidak lebih dari dua persen, tetapi lebih perlu menilik kembali proses apa yang dilakukan pasangan calon dalam perolehan suara akhir. Hal ini ditujukan agar keadilan dapat selalu menjadi budaya dalam kegiatan pilkada,” terang Ray Rangkuti, perwakilan LIMA Indonesia.
Ray menyoroti bahwa temuan-temuan berbagai pelanggaran yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada dapat dijadikan argument atau legal standing untuk pelaporan ke MK. Dengan harapan, MK harus terlebih dahulu berkenan menerima dan menangani laporan yang ada tentang berbagai masalah serta kecurangan yang terjadi dalam proses pilkada.
Adanya dugaan pelanggaran dalam proses yang pilkada yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) dinilai tidak disentuh oleh MK sebagai konstitusi yang dianggap berwenang dalam hal ini. MK justru dinilai menjadi mahkamah kalkulator yang hanya menangani sengketa selisih suara atau besaran suara saja. Padahal di sisi pelapor, bukan lagi menjadi suatu yang utama untuk bisa mengembalikan perolehan suara, tetapi lebih kepada menjunjung keadilan yang harus ditegakkan dalam pilkada sesuai dengan prinsip-prinsip jurdil yang sudah ditetapkan dalam undang-undang.
“Apabila pelanggaran yang bersifat TSM sebagai dasar untuk melakukan sengketa di MK maka akan membuat praktik-praktik demokrasi Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pilkada, tetap berada dalam prinsip-prinsip jurdil. Namun, apabila pelanggaran TSM tidak dapat dihentikan oleh MK, maka ada ancaman besar bagi prinsip jurdil pelaksanaan pilkada Indonesia di masa mendatang,” katanya.
Ray mengatakan sudah tidak ada mekanisme untuk menyelidiki hal-hal pelanggaran yang bersifat TSM yaitu ketika proses dalam memperoleh suara dalam pilkada diduga dilakukan dengan cara sabotase, manipulasi, pengerahan PNS, politik uang atau sogok, penggunaan APBD, kampanye terselubung melalui bansos dan hibah, surat undangan dengan sengaja tidak disebarkan, dan data pemilih yang sengaja dibuat bermasalah.
“Tidak ada pintu lain untuk mengadili apakah pemilu atau pilkada dilaksanakan dengan prinsip-prinsip jurdil atau tidak. Satu-satunya pintu yang tersedia untuk menguji kesahihan pelaksanaan pilkada dari awal hingga akhir adalah MK. Namun, apabila MK menutup diri maka inilah yang kita sebut dengan ancaman besar bagi kejujuran dan keadilan pelaksanaan pilkada yang sudah di depan mata. Orang tidak akan lagi berpikir bagaimana menjunjung asas transparansi dan asas keadilan,” ujar Ray.
MK yang hanya menyidangkan sengketa dengan selisih suara di bawah dua persen diharapkan juga menguji proses pilkada, bukan hanya membuktikan siapa yang salah atau benar dalam penghitungan suara.
“MK seharusnya bukan mengurus selisih angka, tetapi menyelidiki dari mana suara berasal dan bagaimana proses mendapatkan suara sehingga memunculkan adanya dugaan pelaporan tindakan curang yang bersifat TSM. Dari situ kelihatan mana yang tidak sah, manipulatif, ilegal, melanggar peraturan, melanggar prinsip jurdil, dan curang,” tegasnya.
MK diharapkan membuka diri kembali untuk menyengketakan kemungkinan terjadinya proses yang tidak memenuhi ketentuan konstitusi dalam pelaksanaan pilkada.
“MK harus melihat perannya yang bukan hanya menangani sengketa suara, tetapi juga menyengketakan atau mengadili soal apakah pelaksanaan pilkada dilaksanakan dengan prinsip-prinsip jurdil yang berefek pada selisih suara. Suara yang berbeda jauh dibentuk oleh praktek-praktek pilkada yang curang di lapangan, tetapi MK hanya membatasi diri pada persoalan selisih suara, maka lalu praktek-praktek curang tidak diadili. Harus ada proses pengulangan pilkada apabila ditemukan kecurangan di atas dua persen demi keadilan,” paparnya.
Proses publik mencari keadilan dianggap Ray akan tersumbat apabila MK membatasi dirinya hanya pada batasan presentase penghitungan selisih suara.
“Pintu harus disediakan bagi pengaduan atau gugatan atas proses dan hasil pilkada yang tidak berjalan adil. Efeknya, selain kepada penegakan keadilan dan prinsip jurdil, adalah agar tidak terjadi kekerasan di tengah masyarakat. Dengan tersedianya banyak ruang terbuka bagi elemen-elemen publik dalam memperoleh keadilan tersebut, maka tidak akan terjadi gejolak kekerasan seperti yang sudah terjadi di Kalimantan Utara.
Sanksi yang menyentuh langsung kepada calon pasangan yang terbukti melakukan pelanggaran dalam proses pilkada juga harus dilakukan, jangan hanya kepada tim sukses dan elemen masyarakat yang terpaksa harus terlibat di dalam proses kecurangan tersebut,” tegas Ray.
Selain menyoroti proses gugatan tindak kecurangan pilkada, diskusi ini juga membahasa tentang aturan perundang-undangan yang mengatur jalannya pilkada.
“Penyusunan undang-undang pilkada sangat tergesa-gesa, kami sempat bersama-sama bekerja keras untuk mempertahankan pilkada langsung saat itu. Peralihan undang-undang tidak langsung menjadi langsung berakibat pada kualitas undang-undang tersebut. Salah satu hal yang ketika itu kami usulkan adalah mengenai pasangan calon yang sebelumnya merupakan pemimpin daerah yang mencalonkan diri kembali dalam pilkada (petahana) yang korelasinya dengan bagaimana membatasi adaanya kecurangan pilkada. Seharusnya petahana tidak boleh dicalonkan lagi bahkan bagi keluarganya juga tidak boleh, tetapi ketentuan ini dibatalkan oleh MK. Akibat langsung dari petahana yang muncul kembali adalah pada selisih suara. Ketika petahana dan keluarga petahana tidak ikut maka akan muncul aktor-aktor baru sehingga kompetisi relatif adil dan pelanggaran yang terjadi akibat penyalahgunaan fasilitas negara di daerah tidak terjadi, tetapi karena petahana diizinkan ikut kembali oleh MK maka selisih suara kembali menjadi tidak relevan. Kompetisi antara petahana dan bukan petahana startnya tidak berangkat dari titik yang sama,” kata Masykurdin Hafidz, perwakilan JPPR.
“Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015, yang menyatakan: kabupaten kota dengan jumlah penduduk 250.000, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kabupaten kota. Hal ini tidak terlalu clear, perolehan suara yang ditetapkan oleh KPU kabupaten kota itu tidaklah jelas,” katanya.
“Kalimat dalam Pasal 158 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tersebut lalu diterjemahkan oleh MK bahwa kabupaten kota dengan jumlah penduduk 250.000, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak dua persen, antara pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU kabupaten kota. Padahal, perolehan suara pemenang tidak ada hubungan lagsung dengan jumlah penduduk. Dua persen didasarkan dari jumlah penduduk (suara yang sah). Peraturan mahkamah konstitusi ini, selain bahwa undang-undang yang mempersempit, adalah semakin memperparah keadaan, dasar dari suara pemenang pada akhirnya membuat proses gugatan semakin sedikit yang diterima dan semakin menghilangkan aspek keadilan yang diinginkan oleh pasangan calon. Kesimpulannnya, ketentuan soal maksimal selisih suara dua persen dan peraturan yang dikeluarkan MK memperumit proses gugatan suara di MK dan nyata-nyata mengurangi aspek keadilan bagi pasangan calon, karena apabila membaca materi gugatan pasangan calon, hampir tidak ada yang mempersoalkan selisih suara, sebagian besar adalah problem penyalahgunaan fasilitas negara dan mobilisasi aparatur sipil negara, sisanya tentang surat undangan yang tidak tersebar luas, politik uang, dan soal keabsahan ijazah,” ujar Hafidz.
Hafidz menegaskan, hasil suara hanyalah sebuah ujung dari proses pilkada.
“Pada akhirnya, dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada Dewan MK, sebaiknya peraturan ini ditinjau kembali. Desakan dari kami, bahwa hasil suara jangan dijadikan prioritas utama, tetapi justru yang menjadi prioritas utama adalah melihat proses-proses sidang di MK yang apabila terjadi pelanggaran yang bersifat TSM bisa diloloskan ke proses-proses sidang selanjutnya,” kata Hafidz.
Sebagian besar dari penggugat berasal dari daerah berpenduduk sedikit (kurang dari 250.000 jiwa), sehingga hal itu berpengaruh besar pada hasil pilkada.
Arif Susanto, perwakilan dari INDID mengatakan pelanggaran-pelanggaran yang ada di dalam pilkada mempengaruhi hasil akhir pilkada. Sengketa hasil tanpa memikirkan substansi merupakan hal yang sia-sia belaka. MK tidak harus terikat pada undang-undang yang mengikat dan membatasi dalam langkah memperjuangkan keadilan bagi rakyat. Cara DPR lewat UU pilkada dan cara MK lewat peraturan MK untuk meminimasi masuknya gugatan kasus adalah langkah yang keliru. MK harus membuat terobosan, tidak harus terikat pada tafsir yang konservatif dan tekstual terhadap apa yang sudah tercantum dalam UU pilkada apabila ingin menyelamatkan demokrasi. MK harus berspektif lebih luas bahwa sengketa hasil pilkada tidak hanya menyangkut pada kepentingan kompetitor atau para calon, tetapi kepentingan pilkada menyangkut seluruh rakyat Indonesia. Hal ini juga menggambarkan kualitas demokrasi dari hasil pilkada yang berpengaruh pada nasib seluruh warga Indonesia. Oleh karena itu, perlu dirumuskan cara pandang yang komperehensif tentang pelanggaran-pelanggaran dalam pemilu yang semuanya merupakan satu rangkaian yang berdampak pada hasil akhir pemilu.
“Bukan hanya MK yang harus berkaca dan introspeksi. Pertarungan politik dalam pilkada dan pemilu (kontestasi kekuasaan) bukanlah puncak dari proses politik. Pemilu hanya bagian dalam mewujudkan permusyawaratan rakyat sebagaimana tercantum dalam sila keempat Pancasila. Proses setelah pemilu penting juga untuk diperhatikan. UU pilkada harus segera direvisi dan merangkum dalam sebuah kompilasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan-persoalan pemilu dengan memasukkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu,” tegas Arif.
Jeirry Sumampow, perwakilan dari TePI Indonesia menyatakan UU pilkada kali ini merupakan UU pilkada yang paling buruk dari UU pilkada yang pernah ada.
“Seharusnya UU yang baru dapat lebih baik dari UU sebelumnya, tetapi yang terjadi tidak seperti itu, malah yang ada menjadi lebih buruk. Apabila berkomitmen untuk menciptakan keadilan dalam pilkada, maka MK tidak boleh hanya menjadi mahkamah kalkulator, tetapi harus dapat memasuki substansi-substansi persoalan kewenangan pilkada. Kita butuh MK untuk menyelamatkan pilkada di Indonesia,” tegasnya.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...