Advokasi WCC di Balik Perjanjian Perdagangan Senjata
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Perjanjian perdagangan senjata yang disetujui dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan peristiwa bersejarah yang penting bagi penciptaan perdamaian di dunia. Hal ini penting untuk memadamkan konflik berkekerasan di berbagai pelosok dunia yang ditopang oleh perdagangan bebas dan perdagangan gelap senjata.
Gereja-gereja anggota WCC (World Council of Churches / WCC) adalah pihak yang secara gencar berkampanye untuk tercapainya perjanjian tersebut. Hal ini terutama didorong oleh perhatian yang besar untuk membangun perdamaian.
WCC menyebutkan bahwa biaya dan akibat yang dialami manusia dari perdagangan senjata gelap telah sampai pada situasi yang serius. Hal itu menjadi fokus advokasi gereja selama bertahun-tahun untuk terwujudnya perjanjian perdagangan senjata.
Perjanjian tersebut mengotrol bahwa setiap senjata yang dikirim (diperdagangkan) melintasi negara harus dipastikan tidak untuk memperbesar konflik, tidak jatuh pada kelompok teroris dan digunakan untuk melanggar hak azasi manusia.
Untuk itu, WCC telah secara intensif mengadvokasi 47 negara ketika negosiasi dan sidang-sidang di PBB memuncak awal tahun ini. Pada bulan April, pemungutan suara di PBB dilakukan dengan melibatkan156 negara yang kemudian menentukan ekspor senjata bernilai miliaran dolar Amerika di bawah kontrol yang ketat.
Perjanjian tersebut akan berlaku setelah 50 negara meratifikasinya. Setelah 69 negara menandatangani di hari pertama, diharapkan segera menyusul negara lain. Dan WCC mengharapakan setiap negara segera meratifikasi perjanjian tersebut.
WCC menyebutkan bahwa konflik bersenjata telah memakan banyak korban di berbagai belahan bumi. Setiap hari diperkirakan 2.000 orang tewas dalam konflik dan kekerasan bersenjata.
Disebutkan bahwa ketika perjanjian ini berlaku dan dilaksanakan, maka akan lebih sulit untuk memasok senjata yang memicu konflik berdarah, termasuk yang sedang berlangsung di Suriah. Sayangnya, sampai saat ini, menurut WCC, situasinya tetap masih lebih mudah untuk menjual peluru, bom dan senjata mematikan daripada menjual pisang atau nanas.
Kampanye WCC
Lokasi geografis dari gereja-gereja anggota WCC dan organisasi terkait di berbagai negara tidak sepenuhnya menjadi halangan bagi tim kampanye WCC. Mereka bersama gereja bisa berbicara dalam satu suara terhadap empat kelompok negara dan pemerintah, yaitu negara yang membuat dan menjual sebagian besar senjata, negara yang paling menderita dari perdagangan senjata yang tidak bertanggung jawab, negara yang ingin perdagangan senjata direformasi, dan negara yang mungkin tidak terfokus pada masalah, tapi melihat nilainya.
Kemudian "Kampanye ekumenis yang kuat dan efektif tentang Perjanjian Perdagangan Senjata" dikembangkan dari tindakan Komite Pusat WCC Komite pada tahun 2011. Sebuah jaringan kampanye dibentuk pada pertengahan 2011 selama Konvokasi Perdamaian Internasional di Kingston, Jamaika.
Gereja-gereja dan pelayanan gereja di 40 negara tergabung kampanye tersebut. Uganda, Kongo, Nigeria, Sierra Leone, Brasil, Meksiko, Kanada, Swedia, Jerman, Norwegia, India, Korea Selatan, Australia dan Papua Nugini adalah beberapa negara yang terlibat. Upaya itu juga dilakukan melalui kerja sama erat dengan kelompok-kelompok Katholik dan Gereja Injili.
Gereja-gereja di Afrika dan pemerintah memainkan peran kunci dalam kampanye tersebut. Sebab, negara-negara tersebut sangat dipengaruhi oleh penjualan senjata yang tidak bertanggung jawab selama puluhan tahun. Mereka berdiri bersama dan membuat suara mereka didengar.
Sebuah panduan penting yang diadvokasi adalah bahwa perjanjian itu harus menyertakan senjata kecil dan senjata ringan, ditambah amunis. Dua pemain utama dalam negosiasi, AS dan China, keduanya mencatat posisi Afrika. Perubahan sikap mereka diikuti, dan negosiasi yang sempat gagal, akhirnya mampu dilanjutkan.
Pada akhirnya, perjanjian yang dibuka untuk ditandatangani pekan ini memuat banyak hal yang dikampanyekan WCC, meskipun dalam beberapa hal belum sesuai. Namun demikian, perjanjian itu merupakan hal yang pertama di mana secara global perjanjian mencakup senjata kecil dan senjata ringan, amunisi, pelanggaran hak asasi manusia, hukum humaniter internasional dan kekerasan berbasis gender.
Perjanjian ini Ini melarang ekspor senjata konvensional di mana diketahui bahwa senjata dapat digunakan dalam kejahatan perang, genosida, serangan terhadap warga sipil dan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.
Dukungan untuk perjanjian ini datang dari banyak negara, termasuk eksportir senjata utama, dan mereka akan memberi tekanan pada negara-negara yang abstain untuk mereformasi praktik perdagangan senjata mereka.
Meskipun sudah ditandatangani di PBB, tim kampanye ekumenis WCC terus bekerja sehingga lebih banyak pemerintah yang menandatangani dan kemudian meratifikasi perjanjian yang sudah lama ditunggu-tunggu.
Jaga Imun Tubuh Atasi Tuberkulosis
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dokter Spesialis Paru RSPI Bintaro, Dr dr Raden Rara Diah Handayani, Sp.P...