Afrika Tengah Senin ini Memilih Presiden Sementara
BANGUI, SATUHARAPAN.COM - Parlemen transisi Republik Afrika Tengah (CAR), hari Senin (20/1) memilih pemimpin baru sementara yang bertugas memulihkan perdamaian ke negara bekas koloni Perancis itu. Konflik baru-baru ini di sana membunuh ribuan orang dalam konflik sectarian antara milisi Kristen dan Muslim.
Parlemen CAR, pada hari Minggu (19/1) mengumumkan bahwa delapan kandidat sedang dibahas di tengah kekerasan sektarian terus melanda negara itu. Pemimpin baru itu akan mengisi kekosongan jabatan setelah presiden sementara, Michel Djotodia, menyatakan mundur bulan lalu.
Dia mendapatkan tekanan kuat dari negara-negara tetangga atas kegagalan dalam membendung pertumpahan darah. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bahkan memperingatkan konflik itu bisa berubah menjadi genosida.
Pasukan internasional telah dikerahkan ke negara itu mencegah perang sektarian menyusul kudeta pada bulan Maret tahun lalu, di mana sebagian besar penduduk Muslim dalam milisi Seleka memberontak untuk menggulingkan Presiden Francois Bozize.
Untuk mengatasi kekacauan, kemudian diangkat Djotodia sebagai presiden sementara di negara dengan lebih dari 600.000 kilometer persegi itu. CAR merupakan negara miskin yang memiliki sejarah panjang kudeta dan pemberontakan militer.
Pemulihan Pemerintahan
Blaise Fleury Otto, kepala komisi pemilihan khusus, mengatakan bahwa ada 24 kandidat yang diseleksi menjasi delapan calon presiden sementara dengan seleksi yang tegas. Hal itu termasuk terhadap wali kota Bangui, Catherine Samba Panza, serta dua putra mantan presiden, Sylvain Patasse dan Desire Kolingba. Selain itu juga Ange - Felix Patasse (presiden 1993-2003), dan Andre Kolingba yang berkuasa pada tahun 1985.
Komite mengecualikan pejabat politik yang bekerja untuk Djotodia, pemimpin partai, tentara aktif, dan siapa saja yang terkait kelompok milisi atau pemberontak dalam 20 tahun terakhir.
Milisi Seleka dibubarkan setelah Djotodia diangkat sebagai presiden sementara. Namun kelompok itu berubah dengan melakukan serangkaian kekejaman termasuk pembunuhan, perkosaan dan penjarahan, serta mendorong orang Kristen untuk membentuk kelompok milisi yang juga melakukan tindakan main hakim sendiri.
Pemimpin baru akan menghadapi tantangan memulai pemerintahan yang selama ini lumpuh dan membawa perdamaian sebelum pemilihan umum yang harus diselenggarakan pada semester pertama 2015.
Pemimpin baru akan dipilih dalam satu putaran pemungutan suara dilakukan secara rahasia, dengan hasil yang diumumkan segera setelah itu.
Kekerasan Berlanjut
Komite Internasional Palang Merah mengatakan hari Minggu (19/1) bahwa setidaknya 50 orang meninggal dalam kekerasan di barat laut negara itu. "Dalam 48 jam terakhir ,tim dari ICRC dan CRCA ( Palang Merah lokal) telah memakamkan sekitar 50 jenazah," kata ICRC dalam sebuah pernyataan.
Georgios Georgantas, kepala delegasi ICRC, mengatakan sebagian besar penduduk telah melarikan diri ke semak-semak setelah ditinggalkan tanpa perlindungan apapun terhadap serangan. "Kami sangat prihatin untuk keselamatan mereka," kata dia.
Bentrokan berkecamuk di beberapa wilayah negeri pada hari Sabtu (18/1), kata Save the Children. Serangan granat dan tembakan terjadi pada konvoi truk yang membawa umat Islam yang melarikan diri ke arah barat laut, dan membunuh 23 orang, termasuk tiga anak-anak.
Pasukan penjaga perdamaian Afrika, MISCA, mengatakan kekerasan terjadi di mana-mana. Sekitar 700 warga Muslim, sebagian besar perempuan dan anak-anak mengungsi dalam dua malam terakhir di gereja Katolik di Boali, kata Xavier Fagba.
Imam setempat, Boris Wiligale, mengatakan sebelumnya bahwa pasukan Perancis telah melucuti pemberontak Seleka di pinggiran kota, tetapi milisi Kristen telah mengambil kesempatan untuk keluar dari semak-semak. (AFP)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...