Agama Berperan Baik dalam Perdamaian Maupun Konflik
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Agama memiliki peran baik dalam perdamaian maupun konflik. Hal ini disebutkan antropolog Sumanto Al Qurtuby dalam peluncuran buku karyanya dan seminar 'Dari Konflik Menuju Harmoni: Hubungan Islam dan Kristen di Indonesia' di Jakarta, Senin (30/7).
"Saya melihat agama berperan penting baik dalam kekerasan maupun perdamaian selama penelitian konflik agama di Ambon. Ketika kekerasan meletus, Islam dan Kristen terbelah dan mengklaim masing-masing yang paling benar," kata Sumanto Al Qurtuby saat membahas bukunya.
Konflik Ambon meletus 1999 dengan melibatkan dua kelompok agama yakni Islam dan Kristen. Masing-masing menggunakan teks agama untuk melawan dan berjihad. Baik Kristen maupun Islam. Keterangan itu diperoleh Sumanto Al Qurtuby ketika menjumpai para pemimpin milisi Kristen maupun Muslim. Sementara mereka yang mendukung perdamaianpun memakai teks- teks teologi yang dimilikinya masing-masing.
Sumanto Al Qurtuby melalui bukunya ini menampilkan respon orang Kristen dan Islam terhadap konflik di Ambon. Juga bagaimana solusi mereka untuk menyelesaikan akar kekerasan dan konflik di Ambon.
"Di dalam konflik kekerasan yang selalu muncul adalah rasionalitas emosi. Situasi seperti ini larut dalam menafsirkan ayat-ayat keagamaan. Itu banyak terjadi di kelas bawah, akar rumput. Mereka tidak sadar sebetulnya bahwa ini upaya kelompok elit yang tahu dan betapa bergunanya agama untuk memperoleh kepentingan politik dan ekonomi," tanggap Pendeta Albertus Patty.
Pendeta Albertus Patty berpandangan konflik Ambon yang meletus 1999 adalah ledakan politik segregasi yang pernah ditanamkan di masa kolonialisme Belanda. Padahal ada daya perekat pela gandong di budaya lokal Ambon.
Dia pun menambahkan konflik agama ini muncul karena imperialisme teologi yang diikuti imperiliasme budaya.
"Imperialisme teologi yang masuk lebih primordialistik, sektarianistik, berusaha memecah belah. Diikuti imperiliasme budaya. Di dalam Kristen ada upaya pembaratan. Sekarang muncul arabisasi. Baik dalam proses berpakaian, berbahasa sehingga menggerus budaya asli Indonesia. Sesuatu yang dianggap berasal dari Arab disakralkan. Sementara yang lokal dianggap profan dan direndahkan."
Pendiri demokrasi.id Anick Tohari menilai faktor agama justru membesarkan konflik. Dia mencontohkan dalam pertandingan olahraga antar sekolah, sekolah Islam bertemu sekolah Kristen. Tidak ada pembahasan agama dan murni olahraga di dalam pertandingan. Tetapi konflik di olahraga bisa meletus karena ada perbedaan agama di dalamnya.
"Karena itu kita harus bicara agama secara terbuka. Agama itu tentang perbedaan, bukan persamaan. Selama ini kita mencari persamaan di antara agama-agama. Sementara yang berbeda kita sembunyikan. Bahayanya, ketika itu keluar pada momen tertentu maka yang keluar adalah bentuknya yang garang. Karena itu perbedaan itu harus diperbincangkan secara rileks. Ada yang memberi istilah lain dengan pluralisme kemanusiaan. Walau berbeda tetapi bisa jalan bareng tanpa membahas agama."
Sementara Alan Christian Singkali dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) memandang pola komunikasi dan relasi harus diubah. Tidak hanya untuk kerukunan saja. Tetapi harus terus dibangun karena banyak tantangan yang menanti Indonesia.
"Kita masih berkutat di isu radikalisme sementara ada tantangan bonus demografi dan revolusi industri baru. Segregasi kita bukan sekedar ada kampung Muslim dan Kristen tetapi lebih luas. Segregasi kita masuk ke smartphone. Mengidentifikasi orang yang segolongan sepikiran dengan saya. Potensi konflik masuk ke media sosial. Menghakimi, membully, menjustifikasi pikiran orang. Ketika kita tidak dibekali dengan pemikiran yang lebih dalam akhirnya menjadi gampang menjustifikasi pikiran, gagasan, dan pendapat orang lain. Saya pikir segregasinya berpindah dari ruang geografis ke dunia maya," katanya.
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...