Agama dan Peluang Bisnis
SATUHARAPAN.COM – Fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai, ajaran dan praktik spiritual dan etis-moral. Fungsi lain adalah sebagai pembentuk gaya hidup, baik pola pikir, kebiasaan maupun khususnya dalam berpakaian atau fashion misalnya. Gaya pakaian yang agamis tampak pada penggunaan jilbab oleh wanita Islam.
Ilustrasi para penjual takjil di lingkungan perumahan. (Foto: Stanley Rambitan) |
Juga simbol-simbol atau aksesoris keagamaan yang dipergunakan oleh penganut suatu agama menjadi petunjuk pengaruh agama pada penganutnya. Misalnya penggunaan kalung dengan buah berbentuk salib dan tulisan-tulisan dari ayat kitab suci yang dipergunakan sebagai hiasan; pakaian seragam para penyanyi paduan suara atau seragam kelompok umat yang menghadiri acara atau perayaan agama tertentu. Gaya berpakaian dan benda-benda keagamaan yang dipergunakan ini biasanya terbentuk dari doktrin, ritus dan kehidupan agama dan sosial.
Berbagai “Bisnis Agama”
Ajaran dan praktik agama yang menghasilkan gaya hidup itu memberi peluang bagi usaha atau bisnis yang berkaitan. Ajaran ziarah rohani ke tempat-tempat suci atau keramat telah memunculkan banyak bisnis perjalanan atau biro travel yang menyelenggarakan program perjalanan dan wisata ke tempat-tempat religius. Misalnya di kalangan umat Islam, banyak orang pergi beribadah haji dan umrah ke Mekkah. Di kalangan Kristen juga muncul usaha-usaha perjalanan wisata rohani ke tempat-tempat yang dianggap suci atau yang diceritakan di dalam Alkitab, seperti ke Yerusalem, gunung Sinai, laut mati dan sungai Yordan.
Ilustrasi para penjual takjil di lingkungan perumahan. (Foto: Stanley Rambitan) |
Bisnis yang berhubungan dengan agama juga tampak ramai diadakan dalam rangka ibadah atau perayaan hari besar agama. Misalnya saat ini umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa bulan Ramadan. Bisnis yang sedang gencar adalah penjualan takjil atau makanan untuk berbuka puasa. Ini dilakukan sangat massif dan merakyat. Di berbagai tempat, dari pusat pertokoan, restoran, di pinggir jalan raya dan sampai di gang-gang perumahan, orang berjualan hidangan untuk berbuka puasa ini. Orang-orang yang sebenarnya bukan berprofesi sebagai pedagang makanan, di bulan puasa ini mereka menjadi pedagang. Yang dijual ada yang dibeli juga dari sumber yang memproduksinya, tapi banyak yang juga yang berupa makanan yang dimasak sendiri oleh penjualnya.
Banyak di antara para pedagang itu menjadi pedagang secara musiman; hanya pada saat perayaan-perayaan khusus. Dalam rangka perayaan hari-hari besar agama, khususnya Lebaran atau perayaan Idul Fitri dan Natal, bisnis barang-barang atau bahan-bahan kebutuhan seperti pakaian, kue dan pernak-pernik untuk dekorasi rumah dan tempat umum juga bermunculan dan menjamur. Demikian juga para pedagang bunga banyak membuka lapak jualan untuk kebutuhan ziarah ke makam. Contoh lain juga adalah penjualan hewan baik sapi atau kambing-domba dalam rangka hari raya Kurban di dalam Islam.
Pengaruh Agama pada Perekonomian Umat
Kegiatan-kegiatan usaha di atas memperlihatkan bahwa agama memberi atau menciptakan peluang bisnis. Sebenarnya ada pengaruh dan kepentingan mutualistis yang tercipta. Euforia beragama masyarakat kita dimanfaatkan oleh para pebisnis. Bisnis dalam agama telah meningkatkan kebutuhan atau kegemaran orang untuk melaksanakan praktik agama terutama yang bersifat formal. Jadi ada hubungan antara praktik agama dan bisnis. Ini berpengaruh pada tingkat keberagamaan dan tingkat perekonomian masyarakat. Pembukaan berbagai bisnis yang berkaitan dengan agama memengaruhi kondisi perekonomian suatu masyarakat. Aktivitas atau pergerakan bisnis memengaruhi peningkatan taraf hidup perekonomian mereka, langsung atau tidak langsung. Bagi orang yang dapat memanfaatkan peluang bisnis dalam agama ini dan sukses, tingkat perekonomian mereka naik dan taraf hidupnya tinggi.
Ilustrasi para penjual takjil di lingkungan perumahan. (Foto: Stanley Rambitan) |
Namun, bagi kelompok umat tertentu, peningkatan bisnis agama juga dapat menyebabkan penurunan kondisi perekonomian. Ini karena berbarengan dengan itu, tingkat konsumtif masyarakat meningkat. Bagi masyarakat dengan tingkat perekonomian rendah, pengaruhnya adalah buruk. Misalnya tahun 70-90-an, banyak penduduk “asli” Jakarta yang menjual tanah mereka sebagai modal untuk naik Haji, dan setelah kembali kepemilikan tanah mereka berkurang dan bahkan ada yang sama sekali tidak lagi memilikinya dan hanya menjadi penggarap saja. Praktik perayaan agama yang menggunakan dana besar juga diperlihatkan oleh masyarakat Kristen di Minahasa. Orang tampak ‘wajib’ melaksanakan ibadah syukur dengan berpesta atau berwisata rohani ke Israel. Perayaan yang biasanya dilakukan adalah dalam rangka ulang tahun, baptis, sidi atau peneguhan kepercayaan sebagai seorang dewasa dan peresmian rumah baru, serta perayaan Natal, Tahun Baru dan Pengucapan atau syukuran tahunan yang biasa dilakukan pada pertengahan tahun. Untuk kebutuhan dana, ada orang yang sampai harus berutang, menggadaikan atau menjual harta benda atau tanah. Contoh lain juga adalah di Toraja dengan upacara pemakamannya dan di dalam masyarakat Batak dengan upacara pemindahan tulang dan pembangunan tugu.
Dalam rangka Lebaran, banyak orang Islam pulang kampung atau mudik ke daerah asal. Diperkirakan penduduk Jakarta yang akan mudik Lebaran tahun 2015 ini berjumlah 6 juta-an dan uang yang dibawa berkisar ratusan triliun. Ini tentu meningkatkan perekonomian daerah tujuan dan yang dilewati. Namun ada efek buruknya yaitu banyak orang yang tingkat ekonomi pas-pasan mengeluarkan atau membagi-bagi uang tidak sesuai dengan penghasilannya dan harus berutang. Akibatnya ketika kembali harta bendanya menjadi tidak lengkap atau habis karena telah digadaikan atau dijual. Mereka bekerja kemudian dalam beberapa waktu hanya untuk melunasi utang, menebus atau membeli barang kebutuhannya.
Bisnis agama yang membeludak kadang membuat orang tergoda mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan akhirnya melakukan kejahatan. Pemalsuan barang, penipuan dan penggunaan bahan-bahan kimia yang beracun bagi tubuh sering terjadi. Bukan saja umat yang dirugikan tetapi secara tidak langsung keberagamaan umat dan agama itu sendiri. Bisnis agama seharusnya diwarnai oleh nilai-nilai luhur agama seperti kejujuran dan keadilan. Di pihak umat beragama sebagai konsumen perlu memahami ajaran dan praktik beribadah secara tepat dan baik agar tidak berlebihan dalam melaksanakan ajaran dan praktik agama.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Dosen Pascasarjana UKI
Ikuti berita kami di Facebook
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...