Putak dan Kemandirian Pangan
KUPANG, SATUHARAPAN.COM – Pilihan rakyat Yunani yang mengejutkan – hampir 70% memilih TIDAK pada rencana bailout hutang mereka oleh negara-negara kaya Eropa – masih terus bergema dan menimbulkan kontroversi. Tetapi pilihan historis itu melahirkan kosakata baru dalam diskursus politik kiwara: kemandirian.
Apa yang dilakukan rakyat Yunani memang menghebohkan: mereka lebih memilih menjadi “bangkrut” dan memulai lagi dari titik nol, ketimbang tunduk pada skema bailout sistem finansial global yang didikte oleh negara-negara kaya di Eropa maupun Amerika. Memang benar, pilihan itu penuh risiko, dan masa depan negara Yunani belum jelas.
Tetapi pesan moral dari pilihan historis tersebut sangat tegas. Seperti diingatkan Alain Badiou, filsuf Perancis, dalam tulisannya “Onze notes inspirées de la situation grecque”, koran Libération, 8 Juli 2015 lalu (edisi Indonesia oleh Muhammad al-Fayyadl), pilihan itu menggemakan pesan ini: “Kita tetap di Eropa. Kita hanya ingin, sebagaimana menjadi hak kita, untuk mengubah aturan Eropa ini. Kita ingin Eropa berhenti menjadi ikatan perantara antara kapitalisme liberal global dan berlarut-larutnya penderitaan rakyat. Kita ingin Eropa yang benar-benar bebas dan merakyat.”
Saya bukan ahli tentang Yunani. Jadi saya tidak bisa memberi prognose, apakah “jalan Yunani” itu nantinya memberi hasil terbaik bagi rakyat di sana. Namun saya belajar tentang spirit kemandirian yang senada dari kampung kecil di Kupang, melalui figur Pdt. Isakh La’a yang, bersama isterinya, melayani jemaat “Imanuel” GMIT di kampung Oehani, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan, saat mengunjunginya bersama teman-teman beberapa hari lalu.
Sering kali wilayah sekitar Kualin itu diberitakan media massa, baik cetak maupun televisi, terancam kelaparan yang parah sebagai akibat musim kering berkepanjangan. Harian Kompas (13/6) misalnya menyebut, sebagai akibat musim kering para petani di sana gagal panen beras sehingga pemerintah perlu memberi bantuan. Dan “warga mengonsumsi biji asam, sagu dari batang gewang (sejenis palem), dan jenis makanan lokal lain yang dapat dikonsumsi.”
Tetapi pencitraan media massa seperti itulah yang justru disangkal oleh Pdt. Isakh La’a. “Benar ada ancaman bahaya kelaparan, namun tidak separah seperti diberitakan media,” tuturnya. “Lagi pula, jika warga memakan sagu yang dibuat dari batang gewang, itu bukan pertanda kelaparan. Justru itulah bahan makanan lokal yang selalu tersedia bagi kami.”
Kepada kami, Isakh memperlihatkan berbagai manfaat pohon gewang yang bagian dalamnya menghasilkan putak, sejenis sagu. Selama berabad-abad, putak ini menjadi bahan makanan tradisional rakyat Timor, yang tidak kalah kualitasnya dengan sagu dari Maluku atau Papua. Dan pohon gewang tersedia di alam tanpa harus susah-susah menanam.
“Pohon itu tumbuh begitu saja, seperti anugerah Tuhan bagi kita,” kata Isakh. “Dan semua bagiannya berguna bagi seluruh makhluk. Daunnya bisa untuk atap rumah, batang kecilnya untuk dinding, batang agak besar untuk tiang penyangga. Sementara batang utama bisa diolah menjadi putak, atau sebagai bahan pangan ternak, seperti sapi dan babi.”
“Semua tersedia gratis sebagai anugerah Tuhan, namun sekarang distigma sebagai pertanda kelaparan!” lanjutnya gemas. “Apa karena orang tidak makan beras, lalu disebut menderita kelaparan? Padahal soalnya tinggal menemukan teknologi tepat guna untuk mengolah putak ini.”
Memang, selama ini putak diolah dengan cara sangat sederhana. Setelah batang pohonnya dibelah dua, bagian dalam diambil dan dipotong kecil-kecil, lalu dikeringkan. Ini akan menjadi persediaan bahan pangan ternak, entah itu sapi atau babi, yang dapat bertahan lama. Untuk manusia, potongan tadi ditumbuk halus, lalu direndam guna menghilangkan serat-seratnya. Hasil dari itu semua adalah sagu yang lembut, siap diolah menjadi roti tipis ala chapati yang jadi makanan pokok di India, atau menjadi aneka macam kue maupun dodol.
Karena itu, seperti ditulis Pdt. Emmy Sahertian dalam laman Facebook-nya, putak harus dikembangkan lagi sebagai bagian dari ketahanan pangan lokal. Tetapi ini bukan usaha mudah, karena harus berhadapan dengan perubahan kultur makanan lokal, dari yang alami dan beranekaragam, mulai dari ubi-ubian, jagung, sampai sagu, ke arah makanan serba kemasan instan maupun monokultur beras. Perubahan paradigma itulah tantangan utamanya.
Mungkin ketegasan ala Yunani diperlukan di sini: “Kita tetap di Indonesia. Kita hanya ingin, sebagaimana menjadi hak kita, untuk mengubah aturan Indonesia ini. Kita ingin Indonesia berhenti menjadi ikatan perantara antara kapitalisme liberal global dan berlarut-larutnya penderitaan rakyat. Kita ingin Indonesia yang benar-benar bebas dan merakyat.”
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litbang-PGI
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...