Yogyakarta Mulai Kehilangan Budaya Toleran
SATUHARAPAN.COM – Yogyakarta dikenal sebagai daerah “Kerajaan” yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Provinsi Daerah Istimewa yang dipimpin oleh seorang Gubernur yaitu Sultan Hamengkubuwono X ini memiliki masyarakat yang sangat toleran dan menjunjung tinggi sopan santun. Sang Sultan menjadi figur bijak yang menenangkan warga masyarakat, sebagai bapa semua warga. Selama ini, masalah-masalah sosial, agama dan politik diselesaikan dengan jalan damai. Sultan kerap meresmikan gedung-gedung ibadah termasuk gedung gereja.
Namun beberapa tahun terakhir ini terjadi gangguan dan ketegangan dalam hubungan antarumat beragama. Pada Mei 2014, perayaan Paskah Adiyuswa se Sinode-Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Gunung Kidul tidak terlaksana sebagaimana diharapkan karena ada penolakan warga dan pemerintah setempat. Awal Juli 2015, sebuah acara kamping anak-anak SD dan SMP yang diadakan oleh Gereja Advent Surakarta di Bumi Perkemahan Wonogondang Cangkringan Sleman, Yogyakarta dibubarkan Front Jihad Islam (FJI) bekerja sama dengan aparat kepolisian. Alasannya, acara tersebut menjadi ajang kristenisasi, dan tidak memiliki izin dari Kepolisian Daerah dan Kepolisian RI; walaupun sudah ada izin dari kepolisian (Kepolisian Sektor) setempat. Masih ada lagi peristiwa-peristiwa sporadis serupa seperti pemaksaan penutupan gedung ibadah terjadi di Yogyakarta.
Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa kelompok intoleran mulai eksis dan menguasai kehidupan sosial keagamaan masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta mulai kehilangan budaya toleran, kompromis dan rukun. Jika radikalisme dan dominasi kelompok radikal terus terjadi, sangat mungkin citra baik Yogyakarta tersebut akan sirna dan diganti dengan sebutan kota sarang radikalisme dan kelompok intoleran. Citra negatif tentu akan menyebabkan kerugian karena tentu berpengaruh buruk, terutama pada sektor pariwisata dan investasi bisnis.
Jogja Kota Plural Agama dan Islam Moderat
Yogyakarta atau lebih luas lagi Jawa Tengah memiliki sejarah panjang pluralitas dan kerukunan agama. Agama-agama dunia dapat masuk dan berkembang. Hindu dan Buddha masih menampakkan peninggalan kejayaannya melalui tempat ibadah dan candi. Kristen (Katolik dan Protestan) di daerah ini merupakan komunitas dengan jumlah yang signifikan. Penganut Kong Hu Cu juga eksis. Dan tentu Islam sebagai agama yang dianut oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, agama leluhur masyarakat Jawa atau Kejawen dalam bentuk aliran-aliran kepercayaan atau kebatinan juga dianut oleh banyak penduduknya.
Selama Indonesia merdeka atau sejak 1945, tidak pernah terjadi gejolak atau konflik yang berlatar belakang agama. Namun belakangan ini masyarakat Yogyakarta mengalami konflik agama. Walaupun skalanya kecil dan sporadis dan tidak menyebabkan gangguan dalam kehidupan sosial-politis, ada gangguan terhadap relasi antarumat beragama; ada pembatasan terhadap kebebasan dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan dari kelompok umat beragama tertentu oleh kelompok radikal dalam umat Islam. Pihak kepolisian atau aparat keamanan terpengaruh dan terlibat bersama dalam melakukan pembatasan tersebut. Yogyakarta saat ini mulai didominasi kalangan Islam ekstrem.
Sebenarnya, sebagaimana diperlihatkan sejarah, Yogyakarta adalah daerah dengan masyarakat yang moderat, toleran dan menjunjung tinggi kerukunan. Tidak hanya Sultan yang menampakkan karakter itu. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modernis didirikan di Yogyakarta dan para pendirinya, terutama KH Ahmad Dahlan adalah seorang tokoh yang moderat dan modernis. Demikian juga pemimpin-pemimpin Muhammadiyah kemudian seperti Ahmad Syafii Maarif dan Din Syamsuddin. Juga figur Mukti Ali (alm.), diakui sebagai Bapak Dialog dan Kerukunan Antarumat Beragama yang juga berdiam di Yogyakarta.
Kelompok Radikal dan Pemerintah
Di Jakarta dan beberapa daerah lain, kelompok umat Islam yang disebut radikal karena kerap menggunakan kekerasan dalam menjalankan misi penegakan agama adalah Front Pembela Islam (FPI). Di Yogyakarta, kini muncul organisasi keagamaan serupa FPI yaitu Front Jihad Islam (FJI). Sepak terjang FJI tidak berbeda dengan FPI yaitu mengintimidasi dan pemaksaan dengan kekerasan seperti yang dilakukan terhadap pembubaran acara pertemuan anak-anak dan remaja Kristen di Sleman seperti disebut di atas. Radikalisme agama dan kelompok radikal tidak hanya diperlihatkan oleh kelompok khusus seperti FJI tetapi juga oleh sebagian anggota masyarakat. Penolakan terhadap penyelenggaraan pertemuan kaum lansia atau adiyuswa GKJ yang disebut di atas, dilakukan oleh sebagian masyarakat yang dominan dan mampu memengaruhi pemerintah dan aparat keamanan setempat. Ini memperlihatkan bahwa masyarakat Yogyakarta mulai dan makin terpengaruh oleh radikalisme.
Baca juga: |
Yang menyedihkan adalah tindakan intoleran kelompok agama (Islam) itu didukung oleh pemerintah setempat dan aparat keamanan. Memang di Indonesia tidak mengherankan jika “penguasa” setempat bertindak demikian dengan pembiaran atau bahkan mendukung tindakan inkonstitusional dan kekerasan kelompok radikal agama. Ini sudah terjadi di berbagai tempat antara lain di Bekasi –kasus HKBP Filadelfia dan di Bogor –GKI Yasmin. Namun, apakah dalam hal ini aparat pemerintah dan keamanan Yogyakarta yang adalah kota “pluralis, toleran dan rukun” dengan berbagai tokoh agama dan pemerintahannya itu, telah terpengaruh oleh radikalisme agama? Bagaimana wibawa Mukti Ali, Syafii Maarif dan Din Syamsuddin? Apakah mereka mulai tidak berpengaruh? Di pihak lain, bukankah Sultan sebagai pimpinan daerah Yogyakarta menunjukkan sikap toleran? Dan jika demikian, bawahan Sultan tidak meneladani sikapnya? Wibawa Sultan mulai luntur dan digantikan oleh wibawa agama, khususnya radikalisme dan kelompok radikal.
Melihat efek buruk radikalisme yang mulai muncul di Yogyakarta, maka belumlah terlambat jika pemerintah, para tokoh agama dan masyarakat Yogyakarta berupaya mempertahankan, memelihara dan mengembalikan citra kota Yogyakarta yang toleran, rukun dan damai. Pertama, menghindari dan menghilangkan kompromi atau bahkan kolaborasi dengan kelompok radikal dan radikalisme agama. Kedua, penindakan hukum secara tegas terhadap kelompok-kelompok radikal dan pengawasan terhadap radikalisme baik dalam kalangan umat beragama dan pada aparat pemerintah perlu dilakukan. Ketiga, meningkatkan pendidikan yang berwawasan plural dan kultural di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga keagamaan.
Stanley R. Rambitan/Teolog-Dosen Pascasarjana UKI
Ikuti berita kami di Facebook
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...