Agama, Faktor Penurunan Partisipasi Keluarga Berencana
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Selama ini, penelitian lembaga lain tidak mengaitkan fenomena tren penurunan partisipasi Keluarga Berencana (KB) dengan pandangan keagamaan tertentu. Demikian disampaikan Lanny Octavia, peneliti di Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), tentang hasil penelitian pelbagai asumsi penolakan program Keluarga Berencana (KB) di acara peluncuran buku di Gedung Pengurus Besar Nadhatul Ulama (PBNU) Jakarta pada hari Kamis (20/6).
Ditengarai, sebelumnya partisipasi KB yang rendah terjadi di pedesaan karena keterbatasan alat kontrasepsi, tetapi di perkotaan yang tersedia alat kontrasepsi melimpah tidak pula membuat angka partisipasi tinggi. Hal itu menjadikan Rumah KitaB mengaitkan hal ini dengan kuatnya arus keagamaan dalam agama Islam.
Penelitian program KB ini dilakukan karena ada fenomena atau tren penurunan partisipasi.
“Kami mengaitkan dengan kekeliruan strategi program Orde Baru. Karena dulu KB dilaksanakan koersif dan hanya melibatkan kalangan Islam seperti NU-Muhammadiyah. Kalangan Islam non- mainstream merasa tersisihkan dan tidak memiliki kesempatan menyuarakan pandangannya,” katanya.
Penelitian ini dipetakan dimulai dari profil demografi enam wilayah yang diteliti, yaitu Jakarta, Bogor, Cirebon, Yogyakarta, Solo, dan Malang.
Di enam wilayah yang diteliti, semua jumlah penduduknya mengalami kenaikan, kebanyakan akseptor KB-nya tidak permanen. KB permanen seperti vasektomi atau tubektomi sangat sedikit peminatnya. Angka kematian ibu dan bayi pun sangat relatif.
Penelitian
Untuk meneliti kuatnya arus keagamaan, dipetakan perwakilan pelbagai kelompok yang diwawancara. Dari kelompok mainstream yang diwawancarai NU, Muhammadiyah, dan MUI. Fundamentalis lokal diwawancarai, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Kelompok transisional yang mendapat pengaruh dari gerakan Islam seperti Hizbut Tahrir, kelompok Tarbiyah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan salafi, juga turut diwawancarai.
“Selain isu KB, kami menggali pandangan teologis mereka tentang keluarga. Rata-rata mereka menerima pernikahan dini, poligami, dan siri. Karena ini dianggap lebih maslahat daripada selingkuh atau dengan PSK, atau hubungan seks bebas segala macam.”
Ada pro dan kontra terkait KB sebagai pengaturan dan mengatasi kelahiran. Dalam relasi gender, rata-rata perempuan tidak berhak mengambil keputusan tentang jumlah anak. Perempuan tidak berhak atas tubuhnya sendiri.
Faktor teologisnya berasal dari al Qur’an dan Hadist yang ditafsirkan tidak mendukung KB. KB dianggap konspirasi Barat Kafir melawan Islam. Secara fikih pemakaian alat kontrasepsi itu dianggap membuka aurat, mudharat, dan ada najisnya.
Hasil penelitian itu nantinya dijadikan dasar menyusun materi kampanye dan advokasi hak reproduksi perempuan.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...