Agama Minoritas: Berjuang dan Bertahan di Republik Islam Pakistan (1)
KARACHI, SATUHARAPAN.COM – Pakistan, meskipun merupakan sebuah negara Islam, juga terdiri atas warga yang berasal dari berbagai kelompok agama minoritas yang terus berjuang dan bertahan di tanah airnya itu.
Huffington Post pada Senin (10/2) memaparkan hasil laporan tentang hubungan antaragama yang dilakukan oleh International Center for Journalists dan didanai oleh Henry Luce Foundation.
Laporan ini memaparkan perkembangan situasi keberagamaan di Pakistan.
Pada situasi di mana kasus kekerasan semakin banyak terjadi, umat kelompok agama minoritas banyak menghadapi diskriminasi dalam hukum dan undang-undang (UU), mengalami pemaksaaan untuk berpindah agama, dan menghadapi serangan bom serta penembakan yang ditujukan terutama pada sekte minoritas Islam seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Sejarah Keberagamaan Pakistan
Pakistan dahulu berbeda dengan Pakistan sekarang. Sebelum pemisahan India dan Pakistan oleh Inggris pada 1947, lebih dari seperlima populasi, yang kini disebut Pakistan, adalah non-Islam. Banyak yang melarikan diri ke India selama pembentukan negara Islam, meskipun relasi yang damai antaragama sempat berlangsung selama beberapa dekade awal di Pakistan.
Namun pada 1978, negara itu memulai proses 10 tahun Islamisasi di bawah diktator militer Zia-ul-Haq. Ia mendorong perubahan UU yang sekuler menjadi religius dengan menerapkan pengadilan Syariah dan menetapkan UU antipenghujatan.
Melewati tahun 1990-an dan 2000-an, gerakan Islam konservatif memperoleh kekuasaan budaya dan politik, menumbangkan pendekatan yang lebih terbuka di wilayah itu, termasuk terhadap tradisi non-Islam.
Saat ini, jumlah umat dari kelompok agama minoritas berkisar di angka 9 juta (4,9 persen) dari 183 juta orang Pakistan.
Kelompok terbesar adalah Kristen dan Hindu, yang masing-masing berjumlah kurang dari 2 persen dari populasi. Kelompok yang lebih kecil berasal dari kelompok agama Sikh, Zoroaster, Buddha, Baha’i, Yahudi, dan Islam Ahmadiyah. Islam Syiah yang merupakan seperempat dari seluruh warga Pakistan juga mengalami penganiayaan yang didominasi oleh faksi Sunni.
Laporan Kekerasan Berbasis Agama
Ketika para pemimpin dunia memusatkan perhatian pada upaya memerangi kekuasaan ekstremis, para aktivis dan peneliti hak asasi manusia (HAM) menyadari masalah lain yang makin menyebar di Pakistan, yaitu kelompok agama minoritas yang dijadikan sasaran penyerangan.
Laporan Pew Research Center menyebut Pakistan sebagai salah satu negara dengan angka permusuhan terhadap kelompok agama minoritas tertinggi. Pew menempatkan negara itu di antara lima negara dengan angka tertinggi pembatasan beragama dan beribadah, dibedakan dengan UU antipenghujatan.
Pengadilan sering menggunakan UU ini untuk memberi hukuman mati atau hukuman seumur hidup terhadap anggota kelompok agama minoritas dengan tuduhan menghujat Islam. Menyatakan iman secara terbuka telah membuat mereka mengalami tuduhan menghujat Islam.
Sebuah studi tentang Pakistan oleh United States Commission for International Religious Freedom menghitung ada lebih dari 200 serangan terhadap kelompok agama. Selain itu ditemukan pula 1.800 korban kekerasan berbasis agama antara tahun 2012 dan pertengahan 2013, salah satu angka tertinggi di dunia.
Permasalahan tidak hanya dihadapi kelompok Kristen dan Katolik. Berdasarkan kelompok-kelompok HAM, buku sekolah negeri sering menggambarkan kelompok minoritas sebagai kelompok yang jahat dan lebih menekankan akar negara Islam daripada kontribusi umat agama lain.
Beberapa studi ketenagakerjaan telah menunjukkan bagaimana kelompok minoritas berada di tingkat ekonomi yang rendah. Mereka bekerja sebagai pelayan, tukang sapu, dan buruh harian. Surat kabar secara berkala melaporkan tentang penolakan yang dilakukan perusahaan terhadap pelanggan non-Islam.
“Situasi telah berubah dari buruk menjadi lebih buruk, dan benar-benar makin buruk,” ujar Robert George, kepala United States Commission for International Religious Freedom, yaitu lembaga yang memantau pelanggaran hak beragama dan yang memberikan masukan pada presiden, Congress and State Department pada kebijakan luar negeri.
Meskipun konstitusi Pakistan menjamin kebebasan beragama, namun laporan mengenai pemaksaan perpindahan agama ke Islam, penculikan umat non-Islam, diskriminasi pekerjaan, penangkapan dengan tuduhan penghujatan agama, dan penghancuran rumah ibadah masih ditemukan.
Berdasarkan Komisi HAM Pakistan, 34 orang didakwa dengan tuduhan penghujatan pada 2013. Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) melaporkan sedikitkan 16 orang dihukum mati di Pakistan dengan tuduhan penghujatan, dan 20 orang divonis hukuman seumur hidup.
Sikap Pemerintah Pakistan
Pemerintah yang memperingati Hari Minoritas Nasional setiap Agustus, secara teratur membuat pernyataan yang mendukung kebebasan beragama untuk umat Kristen dan kelompok agama lainnya.
Selama memberikan pidato pada bulan Desember, Perdana Menteri Nawaz Sharif menyesali konflik agama yang sedang terjadi, dan menggambarkan Yesus sebagai teladan untuk seluruh umat beragama.
Namun Pakistan tetap mempertahankan keberadaan Departemen Agama dan Kerukunan Antaragama meskipun badan tersebut lebih banyak mengurusi peziarahan Islam seperti perjalanan haji ke Arab Saudi.
Sementara itu, sebuah kantor federal yang didedikasikan untuk kepentingan umat minoritas ditutup pada 2011 setelah pemerintah mengatakan isu minoritas lebih baik ditangani di tingkat lokal.
Dalam sebuah wawancara, salah satu pejabat pemerintah yang mengawasi masalah kelompok minoritas menolak pandangan bahwa umat non-Islam mengalami rintangan di Pakistan.
“Seperti banyaknya masalah yang dihadapi kelompok non-Islam, ada juga masalah yang dialami umat Islam,” ujar Pir Muhammad Amin-un-Hasnat Shah, menteri negara untuk urusan agama dan kerukunan antaragama.
Shah menolak untuk berkomentar atas terjadinya serangkaian penangkapan atas tuduhan penghujatan. Salah satunya seperti yang terjadi pada Januari yaitu ketika seorang pria yang secara mental sakit dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Pakistan karena mengaku dirinya adalah nabi umat Islam.
Ia mengatakan bahwa para legislator berencana mendiskusikan UU penghujatan pada rapat berikutnya. “Kami sedang meneliti isu-isu itu,” ujarnya.
Para aktivis mengeluhkan lemahnya perlindungan hukum dan keamanan bagi kelompok minoritas.
Sejumlah usaha legislatif untuk mereformasi UU antipenghujatan segera dimatikan setelah terjadi serangkaian protes. (bersambung)
Editor : Bayu Probo
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...