Ahli: Bakar Lahan Justru Tidak Menyuburkan Tanah
PALEMBANG, SATUHARAPAN.COM – Ahli tata kelola air dan hidrologi dari Universitas Sriwijaya Momon Sodik Imanuddin, mengatakan kegiatan membakar lahan tidak akan membantu menyuburkan tanah, dan malah membuat unsur hara lenyap dengan mudah melalui aliran air dan udara.
"Sebagian besar masyarakat merasa, membakar akan membuat tanah lebih subur. Memang benar karena mendapatkan unsur hara cepat, tapi harus diingat ini hanya terjadi untuk tahun pertama, karena pada tahun kedua dan seterusnya semua sudah lenyap," kata Momon di Palembang, Selasa (29/9), dalam sebuah diskusi bersama sejumlah wartawan.
Ia mengatakan, ketika dibakar, unsur hara itu sangat mudah hilang, karena tidak ada kesempatan untuk tersimpan di dalam tanah mengingat lahan yang terbakar sangat rawan erosi.
Kondisi itu, sangat berbeda dengan pembersihan lahan tanpa dibakar (ramah lingkungan), karena humus ada kesempatan untuk bersembunyi di dalam tutupan tanah. Semisal, daun kering maka ada waktu untuk pembusukan.
"Jika musim hujan tiba, maka semua unsur hara ini akan tersapu ke sungai, belum lagi jika menghitung biota penyubur tanah lainnya yang turun mati seperti cacing tanah, jangkrik dan trenggiling," kata dia.
Ahli asal Fakultas Pertanian Unsri itu mengatakan, berdasarkan riset lembaga terkemuka, kerugian akibat kehilangan unsur hara itu mencapai nominal Rp65 juta perhektare.
Nominal ini didapapatkan berdasarkan asumsi kehilangan unsur nitrogen (N) dan karbon (C) hingga 97 persen, akibat pembakaran.
Akibatnya, petani akan merasakan dampaknya secara bertahap pada masa mendatang dengan ditandai penurunan produksi pertanian.
"Jika ini terjadi pada perkebunan sawit, maka buahnya tidak ada sebanyak yang dihasilkan lahan yang tidak dibakar, jika ini pada perkebunan ubi maka hasilnya akan kurus-kurus," kata dia.
Sementara, untuk memulihkan lahan yang terbakar, menurut Momon bukan perkara mudah.
Berdasarkan penelitiannya di kawasan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, setidaknya dibutuhkan waktu lima tahun dengan biaya Rp5 juta perhektare setiap tahun, dengan menggunakan teknologi.
"Jika ini pembakaran lahan ini berlangsung terus menerus, maka tanah akan menjadi lapar, atau tanah yang harus makan terus menerus karena unsur haranya berkurang. Tanah ini butuh dipupuk terus, sehingga dosis terpaksa ditambah juga dan akhirnya kerusakan tanah tidak dapat dielakkan lagi," kata dia.
Tak sebatas menyosialisasikan agar masyarakat tidak membakar lahan, pemerintah dan instansi terkait juga harus membuat kompensasi, agar masyarakat tidak membakar lahan.
"Dapat dengan cara sediakan eskavator, traktor dan petugas di setiap desa, di saat musim tanam. Ini lebih konkret, jika kurang dana, pemerintah dapat memanfaatkan bantuan koorporasi dan bantuan dari negara tetangga," kata dia.
Kasus kebakaran lahan, telah menjadi bencana nasional, karena berakibat pada kabut asap di Sumatera dan Kalimantan.
Di Sumsel, data terakhir mencatat sebanyak 9.300 hektare lahan terbakar dan 99 persen akibat ulah manusia.(Ant)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...