Ahok Naik Pitam Dituduh Barter dengan Pengembang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama naik pitam ketika salah satu pemberitaan di media nasional menyebutkan dia telah melakukan barter kebijakan dengan pihak pengembang yaitu PT Agung Podomoro Land (APL) selaku pelaksana proyek reklamasi Teluk Jakarta.
“Istilah yang digunakan Tempo yang saya protes adalah barter. Kalau barter itu dalam pengertian bahasa Indonesia itu tahu enggak? Kamu berikan, saya untung. Terus bedanya kan barter mulangin reklamasi, kontribusi. Enggak sesuai dong,” kata dia dengan suara tinggi di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, hari Kamis (19/5).
Dalam pemberitaan tersebut, Ahok disebut dengan sengaja meminta kepada pengembang untuk mendanai beberapa program DKI sebagai kewajiban tambahan atas proyek reklamasi. Permintaan itu dilakukan atas dasar diskresi karena Pemprov DKI belum memiliki aturan yang memperbolehkan pemerintah meminta kewajiban tambahan kepada pengembang atau pengusaha.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diskresi memiliki arti kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi. Jika dalam pemerintahan, ini berarti keputusan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi.
Koran Tempo menyebutkan PT APL yang dikepalai oleh Ariesman Widjaja telah mengeluarkan uang sebesar Rp 392 miliar untuk pengerjaan 13 proyek di DKI sebagai bentuk barter kontribusi 15 persen dari nilai jual obyek pajak (NJOP) total lahan yang dapat dijual.
Menurut dia, justru apa yang dia minta itu dilakukan demi keuntungan Pemprov DKI. Misalnya, pembangunan Simpang Susun Semanggi yang dibangun oleh PT Wijaya Karya dengan dana kompensasi kelebihan Koefisien Luas Bangunan (KLB) dari PT Mitra Panca Persada.
"Misalnya KLB kamu nambah gedung, saya kasih izin, Anda sepakat, saya buat peraturan ada NJOP, apakah itu namanya barter? Bukan dong, itu namanya kontribusi tambahan kepada Anda (perusahaan), lalu kenapa Anda mau? Karena ada persetujuan, kesepakatan, itu bukan barter namanya," kata Ahok.
"KPK juga tidak mengakui, saya dipanggil KPK juga tidak ada, tapi Tempo tetap ngotot itu diambil dari sumber yang dipercaya, yang harus dilindungi. Kira-kira begitu kan? Terus, saya tukar menghilangkan 15 persen. Itu bukan barter namanya. Kalau itu dilakukan barter pun saya goblok amat, ini pulau Rp 1 triliunan kok, masa tukar hanya Rp 300 miliar. Itu saja sebagai dasarnya.”
Editor : Eben E. Siadari
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...