Ahok Siap Cuti Bila Permohonannya Tak Dikabulkan MK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tengah menanti putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi atas Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016. UU tersebut mengatur calon petahana wajib cuti selama masa kampanye berlangsung.
“Kalau nanti tidak dikabulkan ya cuti. Saya bersyukur saja kalau cuti,” ujar Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, hari Senin (26/9).
Ahok mengatakan ikhwal anggaran, ia masih menunggu hasil keputusan di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menyatakan saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang menyusun anggaran sehingga harus ada kepastian siapa yang akan menandatangani dan mengetok palu atas segala keputusan yang bisa diambil mengenai APBD DKI.
“Dulu ketika masih sama Pak Jokowi dan sempat menjadi Plt, saya tidak bisa tanda tangan. Harus menunggu Pak Jokowi kembali. Ketika Pak Jokowi melihat bahwa ada tugas yang tidak bisa diwakili oleh Plt, Pak Jokowi memutuskan, tidak cuti. Tentu dia tidak melaksanakan kampanye, karena kalau kampanye, wajib cuti. Kita sepakat kalau kampanye wajib cuti, makanya Pak Jokowi bisa kembali tanda tangan APBD. Namun, sekarang kan terjadi kekacauan, karena tidak ada dalam hukum,” ujar dia.
Ahok berterima kasih kepada Pakar Hukum Administrasi Negara, Profesor Harjono, dan Pengamat Hukum Tata Negara, Refly Harun, yang telah menjadi saksi ahli dalam pengadilannya di MK hari ini.
“Saya berterima kasih pada Pak Harjono dan Pak Refly. Itu jelas sekali jika melihat UU tentang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004, di situ jelas Pasal 79 Ayat 3 nya menyebutkan untuk pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan tugas penyelenggaraan dari pemerintah daerah,” katanya.
Ahok mengharapkan apabila memang ia harus mengambil cuti adalah usai pengambilan keputusan APBD.
“Kalau cuti seharusnya bulan Januari dong. Ketika bulan Desember, APBD sudah ketok palu dan sudah terlambat. Saya puas dengan keterangan saksi ahli. Masalah dikabulkan atau tidak saya yakin hakim di MK yang lebih bisa menentukannya,” tuturnya.
Dikatakan oleh Harjono, kewenangan gubernur dalam pelaksanaan APBD tidak hanya diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Hal itu karena terkait juga dengan UU lain yang bersifat khusus seperti UU Pajak dan Retribusi Daerah serta UU Sektoral lainnya.
Selain itu, UU tentang Keuangan Negara yakni Nomor 17 Tahun 2003 dan Pasal 6 UU yang menyatakan, presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah. Pasal 2 Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 6 Ayat 2 mengenai kekuasaan sebagaimana yang dimaksud Ayat 1 tentang pengelolaan kekuasaan keuangan negara dikuasakan pada menteri keuangan selaku pengelola fiskal dan selaku wakil pemerintah dalam pemegang anggaran negara, dikuasakan pada menteri pimpinan lembaga negara selaku pengguna, dan diserahkan kepada gubernur, bupati, dan wali kota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan negara mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah.
“Pada Pasal 6, kekuasaan yang dimaksud pada ayat satu, pengelolaan keuangan negara, a dan b itu bunyinya dikuasakan, klo c diserahkan. Pasal ini sangat jelas membedakan status Menteri Keuangan, lembaga negara, dengan Bupati dan Wali Kota sebagai kepala pemerintahan daerah dalam mengelola keuangan negara,” kata dia.
Menteri Keuangan serta lembaga negara penerima kuasa dari presiden, lanjut dia, artinya, kewenangan pengelolaan keuangan tetap berada di tangan presiden. Penerima kuasa hanya menjalankan kuasa yang diberikan. Sedangkaan pada gubernur, wali kota, dan bupati,, kewenangan yang berada di tangan presiden diserahkan pada ketiganya dengan menggunakan kata diserahkan, perpindahan pengelolaan keuangan dari presiden ke pemerintah daerah, yaitu gubernur. Perpindahan kewenangan tidak diberikan pada pihak lain. UU Keuangan Negara tidak menyebutkan pihak lain.
Mengenai tiga sumber kewenangan, yakni kewenangan atributif, delegasi, dan mandat. Konstruksi pelimpahan wewenang dari presiden ke gubernur, bupati, maupun wali kota ialah konstruksi delegasi. Dalam Pasal 13 Ayat 1 UU Pemerintahan Daerah menyatakan pendelegasian ditetapkan berdasarkan ketentuan UU yang berlaku Ayat 2 kepada pejabat pemerintahan oleh kewenangan melalui delegasi apabila merupakan wewenang pelimpah.
“Terhadap kewenangan delegasi, Pasal 13 Ayat 3 menyatakan adanya larangan bahwa kewenangan yang didelegasikan tidak dapat didelegasikan lebih lanjut. Jadi kalau pejabat mendapat kewenangan delegasi mandek. Tidak bisa didelegasikan lebih lanjut. Dengan adanya kewenangan ini, secara otomatis mengatur kewenangan delegasi yang ada di tangan gubernur, bupati, dan wali kota. Sehingga kewenangan tersebut tidak bisa didelegasikan lebih lanjut,” kata Harjono.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...