Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 13:44 WIB | Kamis, 14 Juli 2016

Ahok Tuntut Soal Kepastian Hukum Reklamasi

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menuntut adanya kepastian hukum mengenai kelanjutan reklamasi Teluk Jakarta. Namun, hingga saat ini belum ada rekomendasi dari komite gabungan dalam bentuk tertulis yang disampaikan kepada Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).

"Ini kan proses hukum, sekarang kami mesti ada kepastian hukum buat investor. Sekarang kan cuma ngomong doang di media memutuskan membatalkan sebuah izin, harus tertulis dong," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, seperti dilansir dari beritajakarta.com, hari Kamis (14/7).

Ahok mengaku sempat bertemu dengan Juru Bicara Kepresidenan, Johan Budi, terkait dengan surat rekomendasi dari komite gabungan mengenai reklamasi. Namun, belum ada surat resmi yang disampaikan.

"Saya kemarin ketemu Pak Johan Budi, dia bilang belum ada di meja Presiden surat untuk menyatakan menyetop. Nah ini kan bukan soal tafsiran. Bukan soal cengeng nggak cengeng, saya diam juga salah," katanya.

Menurut Ahok, berdasarkan tafsiran dari komite gabungan tersebut Keputusan Presiden (Keppres) mengenai reklamasi tersebut gugur karena adanya peraturan menteri dari tiga kementerian. Tiga kementerian tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sementara itu, kanal selebar 300 meter yang dibuat di dekat Pulau G untuk nelayan menurutnya sudah cukup untuk melintas, karena perahu nelayan juga dinilai tidak terlalu besar. Dengan demikian, Ahok tetap menginginkan supaya ada penjelasan yang lebih detail termasuk juga surat resmi terkait hal ini.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman (Menko Maritim), Rizal Ramli, mengemukakan, menteri memiliki kewenangan terkait dengan kebijakan untuk membatalkan reklamasi yang dinilai melanggar ketentuan.

"Masing-masing menteri memiliki kewenangan yang dilindungi UU, misalnya untuk daerah pelabuhan itu kewenangan menteri perhubungan, wilayah laut itu kewenangan menteri kelautan dan perikanan, lingkungan hidup itu kewenangan menteri lingkungan hidup dan kehutanan," kata Rizal di Jakarta, seperti dilansir dari Antara, hari Rabu (13/7).

Rizal mengemukakan hal tersebut ketika ditanya mengenai keputusan Ahok yang menyurati Jokowi terkait keputusan Menko Maritim yang membatalkan reklamasi Pulau G di kawasan pantai Jakarta Utara.

Rizal Ramli mengemukakan keheranannya terhadap tindakan Ahok, dan menyatakan agar Ahok seharusnya jangan cengeng karena soal seperti itu sampai harus diadukan kepada Jokowi.

Ahok mengirimkan surat kepada Jokowi sebagai pendapat kedua (second opinion) guna mempertanyakan apakah konferensi pers Menko Maritim terkait pembatalan pembangunan Pulau G dapat menjadi patokan.

Menurut dia, reklamasi dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52/1995, maka seharusnya seorang menteri tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan keppres, tetapi hanya Presiden yang dapat melakukannya.

Pemerintah melalui Menko Maritim secara resmi membatalkan proyek reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta lantaran dinilai melakukan pelanggaran berat karena membahayakan lingkungan hidup, lalu lintas laut, dan proyek vital.

Pengembang Pulau G, yang merupakan anak perusahaan Agung Podomoro Land, PT Muara Wisesa Samudera, dinilai melakukan pelanggaran berat karena membangun di atas jaringan kabel listrik milik PT PLN (Persero).

Pulau G itu juga dinilai mengganggu lalu lintas kapal nelayan yang seharusnya secara mudah dapat berlabuh di Muara Angke.

Rizal menyebut, berdasarkan analisa Komite Gabungan, reklamasi Pulau G juga dibangun sembarangan secara teknis karena dampaknya yang merusak lingkungan hingga membunuh biota.

Dalam rapat koordinasi tersebut, diputuskan pula sejumlah pulau reklamasi yang melakukan pelanggaran sedang dan ringan, selain pelanggaran berat yang dilakukan pengembang untuk Pulau G. Pulau C, D dan N dinilai melakukan pelanggaran sedang, di mana pihak pengembang diminta melakukan sejumlah perbaikan dan pembongkaran.

Pulau C dan D yang saat ini menyatu diminta untuk dipisah dengan kanal selebar 100 meter dan sedalam delapan meter agar bisa dilalui lalu lintas kapal dan agar tidak meningkatkan risiko banjir.

Sementara itu, Pulau N yang merupakan bagian dari proyek pembangunan Pelabuhan Kalibaru (New Priok Container Terminal 1) milik Pelindo II dinilai melakukan pelanggaran teknis dan lingkungan hidup.

"Pengembangnya setuju untuk memperbaiki. Jadi, boleh diteruskan agar rapi dan pelanggaran yang dilakukan diperbaiki," kata Rizal.

Sementara itu, tim menilai bahwa pelanggaran ringan dinilai berdasarkan masalah administrasi dan proses pembangunan.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home