"Air" Bangun Infrastruktur untuk Negeri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pameran seni rupa oleh lima perupa, Fecky Messah, Danny Stamp Ardiyanto, Andi Ramdani, Adi Kaniko dan Agung Tito Kurniadi merupakan salah satu acara dalam rangka peringatan Hari Bakti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ke 70 tahun 2015 dengan mengangkat tema "Air" Bangun Infrastruktur untuk Negeri.
Pameran diresmikan pada hari Rabu (2/12) oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono ini digelar untuk umum hingga 6 Desember 2015, bertempat di gedung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jakarta.
Para seniman yang terlibat dalam pameran ini mengangkat air sebagai bahasa simbol. “Air” yang mereka sebut sebagai “esensi kehidupan”, kiranya berkaitan dengan kenyataan bahwa di negeri yang dikenal subur - makmur ini selalu terkait dengan masalah kekeringan dan kebanjiran. Setiap tahun negeri kita, Indonesia, selalu kelebihan “suplai” air saat musim hujan dan kekurangan air saat musim kemarau.
Namun di Tasikmalaya, terdapat suatu desa bernama “Awi Luar”. Daerah itu belum mengenal kebanjiran dan juga kekeringan, hanya karena hutannya belum terganggu oleh tangan-tangan manusia. Hal ini berarti, hujan dan kemarau adalah dua musim yang dimiliki negeri kita, yang mestinya bisa dimanfaatkan secara maksimal dengan cara memelihara alam kita sebagaimana mestinya.
Demikianlah, dewasa ini kita mesti memperbaiki alam kita yang sudah rusak sehingga tercipta ekosistem yang alami. Dalam mengembalikan alam kepada keasliannya, tentu saja kita membutuhkan kratifitas, pengorbanan dan kesabaran. Pijakan pemikiran tersebut diejawantahkan oleh kelima seniman melalui bahasa simbolis berupa air. Kenapa? Karena dalam persepsi seniman, air memiliki sifat yang lentur, mengalir, dan selalu peduli ke tempat-tempat yang lebih rendah. Sekalipun air bersedia ditempatkan di suatu tempat yang lebih tinggi, tetapi harus dengan cara dipaksa, bisa diangkut dengan ember, ditarik dengan alat timba, atau dengan menggunakan mesin pompa air. Dalam arti mengembalikan alam disamping mempergunakan pemikiran logika mestinya juga melibatkan pemikiran rasa. Pemikiran rasa inilah yang disampaikan para seniman melalui bentuk-bentuk metaforis tentang air bisa kita lihat melalui karya-karya lukisan dan instalasi.
Andi Ramdani, melalui karyanya “Kabar dari Desa” 2015, mengutarakan modernisasi kehidupan desa. Sebuah pemandangan ketika pintu jendela terbuka, nampak sebuah bendungan waduk yang mengalirkan airnya melalui irigasi ke persawahan yang luas membentang. Dalam lukisan pemandangan alam pedesaan itu tidak ada gambaran manusia yang sedang melakukan kegiatan. Namun kekosongan akan figur manusia itu justru menyiratkan kesibukan penduduk desa yang tengah mengelola alam, dalam arti peran petani bisa diperankan oleh siapa saja. Hal ini diungkapkan Ramdani dengan gambaran sebuah laptop yang sedang menayangkan situs media sosial “Twiter”, secangkir kopi, sepiring goreng singkong dan pisang rebus. Gambaran dibalik jendela yang terbuka menyiratkan seseorang yang ingin mengirim kabar tentang kesibukan petani desa kepada orang-orang kota. Pada karya instalasinya berupa rumah desa, Ramdani mengutarakan kehidupan masyarakat desa, bahwa kebahagiaan tidak harus berkaitan dengan materi, namun berhubungan dengan kesejateraan sosial, ketenangan hingga mewujudkan ketenteraman batin.
Sementara Fecky Messah lebih menjelaskan tentang air sebagai filosofi hidup. Ungkapan air sebagai anugerah Yang Maha Kuasa bisa sebagai penyejuk jiwa yang kerontang. Karya lukisannya berjudul “Menakar Air” 2015, yang menggambarkan seorang ibu yang sedang mengambil air dari mata air lalu dimasukkannya ke dalam kendi, hanyalah suatu realitas dalam kehidupan keseharian manakala manusia harus berhadapan dengan kebutuhan sehari-hari. Lukisan seorang Ayah yang sedang menanggung air dua buah wadah berisi air, Seorang Ayah yang terduduk di bawah pohon dengan beberapa buah ember, dan seorang wanita sedang mengumpulkan kepingan batu di pinggir pantai, mengungkapkan suatu kondisi akan perlunya perbaikan alam ini yang kian hari kian terasa kering. Hal ini ditegaskan dalam salah satu karyanya yang menampilkan sosok seorang bocah laki-laki yang menengadahkan tangan, bersyukur; memperlihatkan wajahnya yang sumringah sebagai gambaran seseorang yang tersiram jiwanya. “Bilasan Raga” 2015, membuka ruang nurani kita, bahwa ada denyutan-denyuta bahagia manakala dalam suasana kemarau yang membakar, kita dapat temui percikan demi percikan sang butiran air untuk membilasi kegerahan tubuh.
Danny Stamp melalui karyanya “Under Construction” 2014, mengutarakan tentang proses hidup manusia yang belum selesai dan akan selalu berproses. Di satu sisi, harapan demi harapan kini lebih banyak diungkapkan oleh orang-orang dari arah timur negeri kita, seperti terdapat dalam lukisan “Membangun Asa di Pulau Timor” 2015, di sisi lain terdapat gambaran kehidupan manusia yang suka membangun menara kemakmuran di tengah gurun, pamer prestasi maupun prestise seperti terungkap dalam “Oase di Timur Matahari” 2014 . Pada akhir zaman ini manusia suka sekali membangun cangkang tanpa mempedulikan isinya. Orang-orang berlomba-lomba membangun gedung, rumah mewah, dan lain sebagainya, tetapi tidak pernah memikirkan isi rumah itu, yakni manusianya. Membangun manusia yang bermartabat berarti membangun ahlak yang mulia, supaya tercipta keselarasan hidup antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia lainnya dan manusia dengan Tuhan.
Adi Kaniko melalui karyanya “Kehidupan” 2013, mengungkapkan kehidupan tradisi pembuat keris Mpu di tanah Jawa yang menjunjung tinggi martabat dan kehormatan manusia dengan laku spiritual. Keris adalah senjata pemimpin yang tangguh, arif dan bijaksana. Adi Kaniko mengungkapkan kerinduan suatu bangsa terhadap seseorang pelindung, pengayom dan pengarah. Seorang tokoh pemimpin yang dipercaya, tidak hanya memimpin manusia di kehidupan dunia, tetapi lebih-lebih kepada memperjuangkan masalah ahlak mulia guna menyongsong kehidupan di alam baqa.
Karya lukisan Agung Tito Kurniadi, agak lain dengan karya-karya seniman lainnya. Ia menampilkan karya realistik yang banal, penggambaran objek yang agak menyimpang dari kenyataan. Lukisan para bebek yang berjalan “Mencari Air” 2014, mengutarakan bahwa hidup ini selalu lepas dari rencana. Alam sudah mencukupi semuanya, namun karena manusia selalu terlena dengan kecukupannya, disaat-saat tertentu mengalami serba kekurangan, kepahitan yang berakibat pula terhadap makhluk lainnya.
Pameran ini mengungkapkan makna simbolis tentang “air” yang dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang sains dan sudut pandang seni. Sains memaknai “air” sebagai suatu objek yang direduksi, disederhanakan demi kepentingan pragmatis berdasarkan daya guna dan pemanfaatannya. Dan apabila unsur-unsur inti dari karakter air sudah didapat, sains akan memanipulasinya untuk berbagai kepentingan manusia.
Dalam sudut pandang sains, air disebut H2O, adalah suatu zat cair yang memiliki nilai guna dan manfaat sebagai salah satu sumber energi. Ketika unsur hidrogen dan nitrogen telah terungkap dari fenomena air, air bisa dimanipulasi untuk menciptakan tenaga listrik atau berbagai kemungkinan reaksi kimiawi. Cara pandang sains adalah cara pandang membedah-mengeksploitasi guna menaklukan alam. Akibatnya, air di sungai dilihatnya hanya sebagai stok atau pemasok energi, tanah tak lebih dari sekedar deposit mineral, udara sekedar gudang nitrogen dan oksigen dan seterusnya.
Sedangkan seniman melalui konsep seninya memandang alam secara berbeda, tidak mengeksploitasi dan memanipulasinya, melainkan membantu menampilkan keindahan hakiki. Jadi kalau sains menyingkat realitas, seni justru menyingkap kekayaan realitas.
Sains menggunakan logika nalar melalui bentuk-bentuk silogisme melalui panalaran konsep-konsep verbal-literal, kemudian dipercanggih oleh simbol-simbol matematis. Dalam seni, logika yang dipakai bukan jenis logika penalaran, melainkan logika perasaan.
Di dalam seni, seniman dalam memandang sesuatu objek lebih mendalam karena behubungan dengan rasa. Suatu lukisan air misalnya, seniman mewujudkan sebagai makhluk yang memiliki rasa. Karakter air yang lentur, ramah lingkungan, peduli terhadap kehidupan adalah bahasa metaforis kejiwaan. Karakter air bisa dilukiskan sebagai seruan kepedulian kita, seperti terdapat dalam karya Fecky messah, bahasa harapan seperti dalam karya Andi Ramdani, atau bahasa metafor seperti dalam karya Danny Stamp, Adi Kaniko maupun Agung Tito. Di titik inilah saya kira pentingnya menyimak dan menghayati karya seni, sehingga kita mampu merasakan permainan efek asosiasi bentuk dalam mewujudkan bahasa metafor tentang esensi sesuatu.
Mengacu kepada karya-karya terpajang pada pameran ini, bahwa seni rupa adalah suatu ungkapan yang halus namun tajam, adalah suatu kreasi yang bisa diterapkan pada segala bidang. Maka demikianlah di zaman kontemporer yang kian kompleks ini, tidak berlebihan kiranya jika kita menerapkan istilah seni di berbagai bidang profesional yang mengacu kepada tuntutan kreatifitas, seperti seni politik, seni perang, seni manajemen, seni jual beli, seni pemerintahan, maupun seni pembangunan dalam “Bangun Infrastruktur untuk Negeri” tercinta kita, Indonesia.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...