AJI Indonesia Desak Penerapan Upah Sektoral
KUPANG, SATUHARAPAN.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak perusahaan media massa menerapkan jaminan sosial dan upah sektoral untuk menjamin kelayakan hidup para pewarta di masing-masing kantor.
"Selain jaminan sosial, AJI Indonesia juga mendesak penerapan dan perwujudan upah sektoral jurnalis yang layak untuk keberlangsungan kehidupan para jurnalis," kata Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono dalam siaran pers yang diterima Antara Kupang, Jumat (1/5).
Dikatakannya, dalam komitmen AJI Indonesia, setiap jurnalis yang masuk dalam kategori buruh, juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kelayakan hidup karena merupakan bagian tak terpisahkan dari komponen bangsa dan negara.
"Karena itu hak-hak layak seperti jaminan sosial dan upah layak jurnalis harus terpenuhkan," kata pemimpin redaksi sebuah situs online itu.
Dia mengatakan, langkah konkre AJI Indonesia dalam memperjuangkan dua hal penting tersebut, adalah dengan memberikan dukungan langsung kepada Forum Pekerja media yang terdiri dari serikat pekerja dan berbagai kalangan pekerja untuk mendesak Menteri Tenaga Kerja segera menetapkan Upah Sektor Media.
"Hal ini sudah menjadi komitmen AJI Indonesia dan akan dilakukan secara bersama-sama," kata Suwarjono.
Sementara itu, Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI Indonesia Yudie Thirzano, meminta seluruh jurnalis untuk bersatu dan membangun jaringan yang kokoh dan utuh penuh komitmen memperjuangkan upah sektoral pekerja media, sebagai upah layak jurnalis di masing-masing perusahaan media yang ada.
Yudie Thirzano meminta jurnalis untuk tidak ragu membentuk serikat pekerja di masing-masing perusahaan media, sebagai wadah perjuangan jurnalis untuk pencapaian dua perjuangan pokok jurnalis tersebut, sebagai bagian dari upaya melepaskan ikatan pemasungan kebebasan pers oleh pemilik modal melalui perusahaan pers.
"Jika dulu ancaman terhadap kebebasan pers dilakukan oleh negara, kini AJI Indonesia melihat ancaman terhadap kebebasan pers justru dari dalam industri media itu sendiri," katanya.
Dalam konteks tersebut, AJI Indonesia melihat posisi tawar jurnalis terus tergerus memburuk, karena ketiadaan persatuan dan kekuatan dalam sebuah wadah resmi, yang bisa memberika kemampuan untuk mendorong perusahaan pers mematuhi dan mematuhi setiap hak layak upah jurnalis.
Industri media yang berkembang pesat juga tak berbanding lurus dengan kesejahteraan jurnalis. Belum lagi tren konvergensi media membuat beban kerja jurnalis dan pekerja media semakin bertambah, namun dalam hal kesejahteraan masih jalan di tempat.
Dengan status jurnalis yang masih beragam mulai dari koresponden, kontributor, freelancer, stringer sampai "tuyul", para jurnalis akan terus terpasung dalam pola penerapan upah yang masih jauh dari layak. Padahal, setiap jurnalis dengan status hubungan kerja tak tetap ini terus berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik dari perusahaan media.
AJI Indonesia yang lebih dari 40 persen anggotanya berstatus pekerja tidak tetap ini, menemukan sebagian besar darinya mendapat upah yang rendah dan tidak layak. Sebagian menerima penghasilan jauh di bawah ketentuan upah minimum regional yang berlaku di masing-masing provinsi.
Untuk semua kondisi itu, AJI Indonesia menyerukan kepada seluruh jurnalis agar ikut mengawal pelaksanaan jaminan sosial nasional pekerja melalui BPJS Ketenagakerjaan. Ini terkait rencana dimulainya pembayaran yuran pensiun mulai 1 Juli 2015 mendatang. Namun hingga kini belum ada kepastian besaran yuran yang semestinya ditetapkan oleh pemerintah.
Di sisi lain, ada potensi besaran iuran BPJS Ketenagakerjaan akan membuat perusahaan media mengurangi fasilitas yang sudah diberikan selama ini.
AJI Indonesia, mengingatkan perusahaan media tidak serta merta memangkas hak karyawan yang sudah ada terkait berlakunya iuran BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam kesempatan peringatan Hari Buruh ini, AJI Indonesia juga menyoroti belum terwujudnya kesetaraan hak jurnalis perempuan di setiap perusahaan media.
Sebagai contoh, masih ada perbedaan dalam pemberian tunjangan pemeliharaan kesehatan untuk keluarga jurnalis perempuan dibandingkan jurnalis laki-laki. Belum lagi, masih banyak perusahaan yang tidak memberikan cuti haid atau fasilitas laktasi bagi pekerja perempuan yang masih menyusui anak.
"Semua perjuangan hak jurnalis itulah yang terus menjadi komitmen perjuangan AJI Indonesia. Dan karena itu, AJi membutuhkan persatuan dan komitmen semua jurnalis di seluruh Nusantara untuk pencapaian tujuan ini," katanya. (Ant)
Editor : Eben Ezer Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...