AJI: Memidana Pemred, Polisi Ambil Tugas Dewan Pers
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono mengatakan dengan memidana pemimpin redaksi media massa, artinya polisi sudah mengambil alih tugasnya Dewan Pers—lembaga negara yang mewadahi seluruh media massa di Indonesia.
Kasus terakhir yang cukup mencolok adalah kasus Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Medyatama Suryodiningrat yang dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya karena aktivitas jurnalistiknya.
“Kasus ini menjadi cukup serius karena apabila diteruskan dan ditindaklanjuti oleh kepolisian, akan membungkam kebebasan pers yang sudah kita perjuangkan selama bertahun-tahun, dan akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers,” kata Suwarjono dalam jumpa pers di Kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
Menurut ketua yang akrab disapa Jono ini, begitu kasus pemidanaan pemred lolos masuk kejaksaan dan pengadilan, masyarakat akan berbondong-bondong untuk melaporkan setiap kasus yang menurut mereka pencemaran nama baik, maupun hanya karena tidak suka secara pribadi.
“Ke depannya bisa menjerat semua pimpinan media, artinya semua media terancam mendapat kasus-kasus serupa,” ucapnya.
Nota kesepahaman atau MoU antara kepolisian dan dewan pers ditandatangani pada tahun 2012 oleh stakeholder pada saat itu yakni Ketua Dewan Pers, Bagir Manan dan Kapolri, Djoko Susilo (sudah diberhentikan karena menjadi terdakwa kasus simulator SIM dan pencucian uang). Kesepakatan tersebut menyatakan bahwa semua kasus pers harus dikomunikasikan dan didahulukan ditangani oleh Dewan Pers, sebelum ada tindak lanjut lebih jauh.
Berdasarkan kesepakatan itu, kasus perselisihan pemberitaan media, seharusnya masuk ke ranah milik pers yang memang sudah ahli di bidangnya, seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) pokok pers yakni UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Laporan masyarakat yang seharusnya ditangani oleh dewan pers, malah ditangani oleh kepolisian dengan menggunakan UU KUH Pidana. Ini yang menurut AJI kepolisian telah melanggar kesepakatan.
Beberapa kasus di tahun-tahun sebelum adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 11 Tahun 2008 sudah cukup baik penanganannya, namun di tahun 2014 ini justru menjadi tahun yang paling banyak mendapat penanganan yang tidak semestinya. Terlebih menurut catatan AJI, ada 40 temuan pelanggaran terkait kebebasan pers yang terjadi sepanjang tahun 2014, dan semua itu tergolong berat dan sangat serius.
“Jangankan menangani kasus pemidanaan pemred media, kita ketahui kinerja kepolisian sangat buruk dalam menangani kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers, yang sampai saat ini belum ada pelaku kekerasan terhadap jurnalis diproses oleh kepolisian dengan menggunakan UU pokok pers,” kata Suwarjono menyesalkan.
Di Makassar ada 10 jurnalis yang mengalami kekerasan berupa perampasan, dipukuli, ancaman, teror, intimidasi, dan lain-lain. Semuanya sudah dilaporkan ke kepolisian, tetapi sampai saat ini masih ada pembiaran.
Sementara aparat TNI, kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan TNI di sidang di Pengadilan Militer menggunakan UU pokok pers. Contohnya ini terjadi di Padang, Sumatera Barat.
“Walaupun belum semua kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan aparat TNI, dibawa ke Pengadilan Militer, tetapi AJI cukup mengapresiasi upaya yang dilakukan TNI ini karena menjadi suatu kemajuan,” kata Suwarjono.
Editor : Bayu Probo
Hizbullah Mengatakan Telah Tanggapi Usulan Gencatan Senjata ...
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Dalam pidato ketiganya sebagai pemimpin Hizbullah, Naim Qassem, mengatakan p...