Catatan AJI: 40 Kasus Kekerasan Pers Sepanjang 2014
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyampaikan catatan akhir tahun sepanjang 2014 yakni ada sebanyak 40 kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers dengan berbagai pelaku, seperti yang disampaikan dalam keterangan pers di Kantor AJI, Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
Berdasarkan jenis kekerasan antara lain, kekerasan fisik 20, ancaman ada delapan kasus, pengusiran tiga kasus, perampasan tiga kasus, penyerangan kantor dua kasus, teror dua kasus, pelecehan satu kasus, gugatan hukum satu kasus, dengan totalnya sebanyak 40 kasus yang gagal ditangani aparat keamanan maupun aparat penegak hukum di Indonesia.
Sementara pelakunya antara lain delapan kasus dilakukan masyarakat sipil, enam kasus dilakukan polisi, enam kasus oleh orang tidak dikenal, empat kasus dilakukan petugas keamanan sipil, empat kasus saat kerusuhan massa, tiga kasus oleh preman, anggota DPRD dan pejabat publik sebanyak lima kasus, dan empat kasus lainnya masing-masing dilakukan Satpol PP, TNI, pengusaha, sampai mahasiswa.
Hak Jurnalis Sebagai Tenaga Kerja
Selain kasus kekerasan terhadap jurnalis, AJI juga menyoroti saat ini masih banyak jurnalis yang tidak memiliki perlindungan sosial, bahkan untuk menjadi peserta BPJS mereka membayar iuran secara mandiri.
“Jurnalis bekerja menyampaikan kebenaran, menyampaikan fakta kepada masyarakat. Oleh sebab itu AJI mendorong perusahaan media mengadakan BPJS atau SJSN kepada setiap jurnalisnya, dan kami juga mendorong para kontributor mendapatkan jaminan sosial yang sama dengan jurnalis yang menjadi karyawan tetap di perusahaan itu,” jelas Sekretaris Jenderal AJI, Arfi Bambani Amri.
Selain itu, masih ada diskriminasi di sejumlah media massa terhadap pekerja perempuan. pekerja perempuan meskipun sudah berkeluarga dan punya anak, masih ditetapkan statusnya lajang, kantor tidak menanggung jaminan sosial terhadap anggota keluarganya, hanya di beberapa media yang sudah memperlakukan sama.
Terlebih, sebagian besar perusahaan media tidak bersahabat bagi perempuan yang menyusui karena tidak ada fasilitas untuk laktasi. Tetapi saat ini ada perusahaan media yang sudah mempunyai tempat penitipan anak, ini yang ke depan akan terus didorong AJI.
AJI Desak Presiden
Atas dasar hal tersebut, Ketua Umum AJI, Suwarjono menyatakan mendesak Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen menjaga kebebasan pers degan memerintahkan polisi, dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk mengusut tuntas kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis.
Kedua, AJI menuntut Presiden membuka selebar-lebarnya akses peliputan jurnalis ke Papua atau ke daerah konflik di Indonesia, baik jurnalis dalam maupun luar negeri, serta menghapus Clearing House untuk setiap jurnalis asing yang ingin meliput ke sana.
Ketiga, mendesak kepolisisan mengikuti nota kesepahaman (MoU) dengan Dewan Pers untuk menggunakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai mekanisme penyelesaian perselisihan pemberitaan pers.
Keempat, meminta kepolisian mengusut setiap pelaku kekerasan terhadap jurnalis ke ranah hukum, termasuk yang dilakukan aparat kepolisian sendiri.
Kelima, menuntut pemerintah dan DPR RI untuk merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Informatika (ITE), khususnya pasal 27 yang menjadi pintu masuk kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di internet.
Keenam, mendesak perusahaan media untuk membuat kontrak kerja yang jelas, mematuhi UU Ketenagakerjaan, UU SJSN serta BPJS yang sudah diberlakukan untuk melindungi jurnalis dalam hal kesejahteraan, kesehatan, kecelakaan kerja, serta jaminan hari tua yang didaftarkan oleh perusahaan media pada 1 Januari 2015.
Ketujuh, meminta penanggung jawab media untuk menjaga independensi, keberimbangan, etika dan prinsip jurnalistik dalam pemberitaan.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...