Akademisi: Hakim Harus Bebas dari Tekanan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Akademisi meminta agar majelis hakim yang menangani proses hukum dugaan penistaan agama terkait pidato di Kepulauan Seribu yang 'menyeret' nama Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus benar-benar independen demi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.
"Untuk itu, hakim tidak boleh tunduk di bawah tekanan kelompok mana pun. Sebagai wakil Tuhan di muka bumi, hakim harus bebas dari pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan secara langsung atau tidak langsung dalam melaksanakan tugas dan kewenangan peradilan,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Muhammad Budiyatna, di Jakarta, Selasa (13/12).
Menurut Budiyatna, tekanan terhadap hakim dalam perkara Basuki ini sangat besar. Karena itu, publik harus ikut melakukan pengawasan terhadap proses hukum ini. Hal tersebut penting agar kasus hukum Ahok ini tidak disusupi oleh kepentingan politik. Apalagi belakangan muncul rumor soal "bandar" dibalik kencangnya tudingan terhadap Ahok ini.
"Kalau murni kasus hukum, saya jamin Ahok lolos. Saya seorang Muslim, tidak melihat adanya unsur penistaan dalam kasus ini. Tetapi, yang namanya proses hukum kan pasti ada tangan-tangan yang bermain," tuturnya.
Dia menjelaskan, pengawasan publik dalam kasus Ahok ini sangat penting agar palu hakim tidak dipakai untuk membunuh musuh politik dari kepentingan kelompok politik tertentu. Apalagi, kasus Ahok lebih kental politiknya ketimbang hukum.
“Saya percaya, Ahok bakal lolos dari tuduhan itu nanti. Asalkan, proses peradilan dilakukan secara tegak lurus tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Saya mendukung proses hukum ini lebih cepat lebih baik agar publik Jakarta paham apa masalah yang terjadi sesungguhnya,” katanya.
Sebab sejauh ini jelasnya, warga Jakarta terpengaruh hasil video editan yang sengaja dipenggal untuk membunuh karakter Ahok. “Andaikan Ahok bisa menangkis tudingan penistaan, saya yakin, warga Jakarta akan memilihnya lagi."
Dia berharap agar hakim harus merdeka dalam memutuskan perkara ini. Mereka tidak boleh tunduk pada tekanan atau presure grup. Kasus Ahok ini sekaligus menjadi ujian kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang beririsan dengan agama. Pengadilan harus menjadi tempat yang nyaman bagi pencari keadilan.
"Jangan sampai hukum dipakai membunuh musuh politik. Hukum harus menjadi panglima bagi pencari keadilan. Karena itu, keputusan hakim harus benar-benar fair dan tidak tunduk pada kelompok tertentu," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Dr Harjono mantan Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menegaskan hakim itu harus independen tidak boleh dipengaruhi oleh lembaga negara yang lain.
"Hakim itu harus imparsial tidak memihak kepada pihak tertentu, karena bias dan karena prejudis. Hakim harus kapabel artinya menguasai substansi perkara dan hakim dalam memutus harus jelas dasar hukumnya dan jelas juga alasannya yng didapatkan dari persidangan. Kalau itu terpenuhi maka putusannya akuntabel dan adil," ujar Harjono yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga.
Bukan Kasus Hukum
Budiyatna, Guru Besar FISIP UI ini melihat kasus Ahok ini tidak murni soal hukum, tetapi politik yang berkedok agama. Apalagi ada dugaan sponsor dibalik demo tolak Ahok ini.
"Bayangkan saja, para demonstran ini datang dari luar Jawa. Dan pasti mereka naik pesawat, bukan naik perahu. Jumlahnya pun ribuan orang. Saya tidak yakin kalau mereka kesini atas kesadaran sendiri. Bukankah ini pertanda ada bandar di belakangnya," tuturnya.
Dia menilai tuduhan penistaan agama sangat lemah sehingga tidak layak diteruskan ke proses pengadilan. Namun, kasus kecil ini menjadi heboh karena tekanan kelompok Islam radikal, terutama dari kelompok Habieb Rizieq Cs yang begitu kuat.
“Sebenarnya kasus Ahok ini bukan penghinaan/penistaan berat. Apalagi, awal kasus ini mencuat karena ulah Buni Yani yang memelintir video aslinya. Video editan Buni Yani ini kemudian memancing amarah kelompok Habieb Rizieq. Padahal, video yang diunggah Buni Yani hasil rekayasa. Terbukti, Buni Yani menjadi tersangka,” tuturnya.
Selain bertendensi politik, Budiyatna menilai kasus Ahok ini disususi agenda kaum berjubah putih itu ingin menjadikan NKRI sebagai negara Islam. Kasus Ahok ini sebenarnya sasaran antara saja. Karena tujuan sesungguhnya adalah menggulingkan Presiden Joko Widodo.
Untuk itu ia meminta Presiden Jokowi harus tegas dengan cara tidak membiarkan kelompok anti kebhinekaan ini merajalela di bumi nusantara. Sebab agenda mereka sesungguhnya memecah belah NKRI. "Mereka ingin menjadikan Indonesia ini Suriah kedua. Dan ini harus diwaspadai,” katanya. (PR)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...