Akal dan Budi
SATUHARAPAN.COM - Pendidikan membuat manusia berkesempatan mengasah akal budinya. Tetapi, yang sering diasah, dipertajam, hanya akalnya, dan bukan budinya.
Manusia kadang merasa perlu memisahkan istilah akal budi menjadi akal dan budi. Pemisahan itulah yang membuat manusia berakal tajam, namun tidak berbudi; pintar tanpa nurani.
Bagaimana menyelaraskan akal dan budi? Butuh hikmat di sini! Ayub, orang bijak itu, menulis: ”Takut akan Tuhan, itulah hikmat, dan menjauhi kejahatan itulah akal budi.” Ini bukanlah sekadar takut hukuman, melainkan kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai ciptaan Tuhan.
Kesadaran diri sebagai ciptaan akan membuat manusia senantiasa eling bahwa akal dan budi merupakan anugerah Tuhan. Karena anugerah, manusia tak boleh menyia-nyiakannya; atau mengutamakan yang satu dan dan mengingkari yang lainnya.
Hanya mengedepankan akal akan membuat manusia tergoda untuk meminteri orang lain, bahkan menguasainya. Hanya mengedepankan budi, nanti malah dipinteri orang lain. Akal budi—Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai pikiran sehat—memampukan manusia melihat dan memperlakukan orang lain sebagai sesama. Pada titik ini manusia tidak hendak menjadi penakluk atau takluk terhadap yang lain, tetapi hidup bersama selaku ciptaan Allah.
Pendidikan manusia Indonesia semestinya berorientasi pada pengasahan baik akal maupun budi. Proses itu akan membawa naradidik menjadi pribadi yang semakin utuh dan manusiawi.
Itu bukan hanya urusan sekolah. Orang tua pun dipanggil untuk terlibat aktif dalam pengasahan akal budi anak-anak mereka. Keluarga harus menjadi pesemaian benih kebenaran (akal) dan kasih (budi).
Pendidikan dalam keluarga merupakan keniscayaan karena bagi anak: rumah adalah sekolah pertama dan orang tua adalah guru pertama. Itu berarti keteladanan orang tua adalah harga mati!
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...