Akankah Pembangunan MRT Dapat Mengurangi Kemacetan?
SATUHARAPAN.COM - Hampir di seluruh dunia, pembangunan sistem angkutan umum masal (MRT – Mass Rapid Transit) selalu membutuhkan waktu yang sangat panjang, sehingga menimbulkan banyak tanya. Pada umumnya proporsi waktu yang dibutuhkan untuk proses pengambilan keputusan jauh lebih panjang daripada untuk pembangunan fisik.
Proses pengambilan keputusan yang sangat panjang ini erat terkait dengan biaya pembangunan sangat besar, yang membuat pengambil keputusan menjadi gamang. Kegamangan ini akan semakin meningkat manakala pengambil keputusan pada satu sisi dihadapkan pada berbagai kebutuhan lain (yang tidak kalah penting), dan pada sisi lain dihadapkan pada kondisi keuangan terbatas. Dalam konteks seperti ini, yang diperlukan adalah seorang pemimpin yang kuat, yang berani mengambil risiko, dan sanggup mempertahankan keputusan secara konsisten.
Secara umum dipersepsikan bahwa MRT adalah solusi dari kemacetan. Pertanyaannya adalah sejauh mana MRT bisa mengurai kemacetan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa menelusurinya dari penyebab kemacetan yaitu volume lalu lintas yang lebih besar dari kapasitas jalan.
Untuk menangani kemacetan lalu lintas, langkah awal yang dilakukan adalah optimalisasi penggunaan ruang jalan (yang biayanya relatif rendah) dengan cara pengaturan dan pengelolaan lalu lintas melalui pemasangan rambu-rambu dan marka jalan yang otomatis disertai dengan penegakan hukum. Tahap selanjutnya adalah menghilangkan bottle-neck di ruas-ruas jalan dan memaksimalkan kapasitas persimpangan (misal: melebarkan kaki simpang, membangun pulau-pulau lalu lintas, pemasangan lampu lalu lintas, dsb). Tahap akhir (yang berbiaya tinggi), adalah penambahan ruang jalan (pembangunan jalan / jembatan) dan pembangunan persimpangan tidak sebidang (under-pass, fly-over).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pertanyaan yang muncul adalah di mana peran MRT yang akan dibangun dalam konteks penanganan kemacetan lalu lintas? Peran MRT tentu ada, walaupun tidak secara langsung. Kita tentu menyadari bahwa dalam jangka panjang, penambahan ruang jalan tidak bisa dilakukan secara terus menerus. Ke depan, pembangunan jalan akan semakin sulit dan semakin mahal karena terkendala oleh keterbatasan luas lahan serta adanya berbagai kebutuhan lain seperti penyediaan ruang terbuka hijau, permukiman, infrastruktur pendidikan, fasilitas umum, perkantoran, pusat bisnis/kegiatan, daerah rekreasi,industri, dsb.
Dengan pemahaman bahwa penambahan ruang jalan tidak bisa dilakukan secara terus menerus, maka diperlukan pengaturan dari sisi kebutuhan (demand) yang ditujukan untuk mengurangi populasi kendaraan yang berdampak pada pengurangan volume lalu lintas. Untuk maksud tersebut maka diperlukan upaya-upaya untuk menaikkan tingkat okupansi kendaraan dan upaya-uupaya untuk mendorong perpindahan moda yaitu dari moda angkutan pribadi ke moda angkutan umum.
Persoalannya adalah, tidak serta merta pemakai moda angkutan pribadi akan bersedia mengangkut orang lain untuk meningkatkan okupansi kendaraan dan tidak serta merta pula pengguna moda angkutan pribadi bersedia untuk pindah ke moda angkutan umum. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya pembatasan lalu lintas (traffic restriction) baik dengan menggunakan instrumen fiskal seperti peningkatan pajak kendaraan serta berbagai bentuk pricing seperti (antara lain): fuel pricing, parking pricing, jalan berbayar (road pricing), dsb, dan instrumen non-fiskal seperti (antara lain): penerapan kebijakan three-in-one (di Jakarta) atau four-in-one (di Bandung), dan pembatasan fisik kapasitas jalan.
Penggunaan instrumen fiskal pada umumnya mendapatkan tantangan yang cukup keras dari masyarakat dengan berbagai alasan, di mana tantangan-tantangan tersebut bisa berasal dari pribadi-pribadi yang kuat dan dekat dengan kekuasaan. Oleh karena itu diperlukan leadership yang kuat, strategi yang baik serta proses sosialisasi yang memadai. Hal ini diperlukan dalam rangka meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan pricing adalah demi keuntungan masyarakat secara luas, antara lain untuk menunjang pendanaan sistem angkutan umum, termasuk pembangunan dan pengoperasian MRT.
Kembali kepada pertanyaan semula, akankah MRT dapat mengurai kemacetan lalu lintas? Selama masa pembangunan, jawabannya pasti tidak, karena walaupun menggunakan teknologi underground, tetap saja ada bagian-bagian (khususnya stasiun) yang dibangun secara cut and cover sehingga kemacetan lalu lintas tidak bisa dihindarkan.
Lantas bagaimana dengan paska pembangunan? Jawabanya bisa ya, tetapi tidak langsung. Mengapa? Karena pembangunan MRT adalah solusi untuk pengangkutan penumpang dari satu titik ke titik lain secara efektif dan efisien, sedangkan solusi dari kemacetan adalah pengaturan dan pengelolaan lalu lintas.
Ringkasnya, MRT bisa mengurai kemacetan lalu lintas bila (dan hanya bila) pengguna moda angkutan pribadi dapat dipindahkan ke MRT (dan moda angkutan umum yang lain) dalam jumlah yang signifikan, dan kedua, pengelolaan / pengaturan lalu lintas, termasuk pembatasan lalu lintas dapat dilaksanakan dengan baik.
Penulis adalah anggota DRN (Komisi Teknik Teknologi dan Manajemen Transportasi) Periode 2009-20011.
Editor: Trisno S. Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...