Salafisasi Dunia Muslim
SATUHARAPAN.COM - Salah satu problem yang mungkin akan lama menghantui kalangan Muslim modern adalah fenomena “salafisasi” masyarakat Muslim. Salafisasi yang dimaksud di sini adalah seperangkat paham yang berusaha mempurifikasi pandangan dan gaya hidup masyarakat Muslim dengan ajaran-ajaran yang lebih dogmatis dan puritanistis.
Kata “salafi” secara etimologis berarti generasi masa lampau (salaf). Kata ini merujuk kepada upaya untuk meniru paham dan praktik kaum Muslim di era paling awal di abad ke -7. Asumsi di balik peniruan ini: semakin sesuai cara berpikir dan gaya hidup kaum Muslim modern dengan paham dan praktik generasi Muslim perdana, maka akan semakin baik keislaman mereka. Asumsi ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya kurun adalah era Islam perdana.
Dengan dogma seperti ini dan dengan pemahaman yang kurang mendalam tentang spirit Muslim perdana, sebagian kalangan Muslim masa kini memcoba berpikir dan bertindak berdasarkan pemahaman mereka tentang Muslim perdana. Sebagian coba mempraktikkan cara makan, berpenampilan, berpikir, dan bertindak bak kaum Muslim perdana sehingga tak jarang tampak aneh di mata dunia modern.
Keanehan itu disebabkan mereka terlampau tenggelam di dalam aspek-aspek yang parsial dan artifisial dari etos kaum Muslim perdana. Inilah yang pernah diulas pemikir Saudi, Salman al-Audah, dalam buku al-Ighraq fi al-Juz’iyyat (Terperosok ke Persoalan-Persoalan Sepele). Gejala negatif ini kini tak jarang kita jumpai pada sebagian Muslim dari Eropa sampai Amerika, sejak Nigeria sampai Indonesia.
Jika gejala itu menjadi pilihan pribadi dan tak sampai mengganggu kehidupan sosial, tentu tak mengapa. Bila ada orang Muslim yang ingin mempraktikkan makan dengan tiga jari sebagaimana praktik Nabi, itu tentu sah-sah saja. Andai ada yang ingin berjanggut sepanjang ekor kuda, tentu itu urusan pribadi belaka. Namun di dunia modern, salafisme tidak berhenti di situ. Praktik salafisme yang dogmatis sering pula mengganggu kehidupan sosial kemasyarakatan bahkan praktik kenegaraan.
Misalnya, permusuhan terhadap patung yang secara dangkal mereka pahami sebagai berhala. Di beberapa daerah di Indonesia, perusakan patung-patung yang menjadi dekorasi kota, mulai banyak terdengar di telinga kita. Di Libya, sekelopok orang yang mengklaim salafi menghancurkan kompleks-kompleks pemakaman sufi yang ramai diziarahi kaum tradisionalis Muslim karena dituduh sarana pemujaan terhadap orang mati. Kepicikan berpikir seperti ini sangat khas dalam dogma-dogma Wahhabisme Saudi. Karena itu, salafisme masa kini sering dikaitkan dengan Wahhabisme Saudi.
Aspek terburuk dari salafisme-Wahhabisme yang disokong kuat Kerajaan Saudi ini tak hanya menyangkut kegandrungan pada aspek-aspek yang sepele dari agama. Studi-studi modern menunjukkan, yang paling bahaya dari salafisme-Wahhabisme adalah tendensi mendramatisasi perbedaaan-perbedaan paham yang sering tidak mendasar di dalam masyarakat Muslim. Para penelaah salafisme sering menunjuk kaum salafi sebagai aktor terpenting dari dramatisasi perbedaan di lingkungan Islam (Marc Lynch, Islamists in a Changing Middle East, 2012).
Penilaian ini cukup logis, karena yang kaum salafi tuju bukanlah titik temu dari universalisme Islam. Karena dominasi sektarianisme dalam berpikir, mereka secara praktis justru memperburuk polarisasi dan ketegangan sosial, tidak hanya di antara kaum Muslim tapi juga antara kaum Muslim dan non-Muslim. Alih-alih memperkukuh kohesi sosial suatu masyarakat, kaum salafi lebih banyak menjadi faktor peningkat tensi dan disintegrasi.
Karena lahir dan berkembang massif berkat topangan dana Saudi, taktik dan pola-pola penyebaran salafisme-Wahabisme Saudi sering dijadikan tolok ukur dan rujukan berbagai dunia Muslim. Lalu apa yang mereka rujuk dan ditularkan Saudi? Madawi al-Rasheed, seorang sarjana Saudi yang menulis buku Contesting the Saudi State menyebutkan, dogma salafisme-Wahhabisme yang kini banyak memengaruhi pola pikir dan bertindak masyarakat Muslim setidaknya ada tiga hal: takfir, hijrah, dan jihad.
Yang dimaksud takfir adalah upaya mengidentifikasi pemikiran dan praktik keagamaan yang menurut standar salafisme-Wahhabisme menyimpang dari Islam untuk dicap kafir. Setelah proses pelabelan, fase takfir ini diikuti proses mobilisasi intimidasi terhadap individu atau masyarakat yang tertuduh. Tujuan tertinggi dari proses intimidasi ini adalah agar sang tertuduh hijrah atau berpaling dari pemikiran dan praktik keagamaan yang mereka anut, atau benar-benar hijrah dalam artian terusir secara fisik dari kampung halaman mereka.
Jika dua dogma pertama tak mempan juga, salafisme-Wahhabisme menginjeksikan doktrin ketiga: jihad atau perang melawan “kemunkaran-kemunkaran” yang mereka identifikasi dari pihak yang tertuduh. Taktik dan pola penerapan tridogma salafisme-Wahhabisme ini bisa beragam, namun pada dasarnya itulah paham yang memberi dosis agresivisme dalam praktik keberagamaan salafis.
Agresivitas ideologis inilah yang membedakan kaum salafi dengan Muslim konservatif umumnya. Kaum Muslim umumnya—sekonservatif apapun mereka—masih percaya bahwa kemunkaran sosial selalu terjadi dan memang perlu diubah dengan berbagai cara seperti dakwah—walau tidak harus terjaminan keberhasilannya. Dengan agresivitas ideologinya, kaum salafi berusaha melenyapkan kemunkaran dengan berbagai cara yang terkadang sangat ofensif seperti agresi.
Fenomena mengubah kemunkaran lewat cara yang ofensif inilah yang kini tak jarang kita saksikan di berbagai belahan dunia Muslim. Ini menjadi pertanda terjadinya gejala salafisasi masyarakat Muslim. Sebagaimana di Indonesia, kaum salafi Tunisia kini juga cukup agresif melakukan berbagai razia terhadap kafe-kafe dan tempat-tempat yang mereka tuduh sarang maksiat.
Obsesi kaum salafi untuk menjadi “polisi moral” ini juga sangat kentara di Mesir dan dunia Arab lainnya. Pemerintahan Mesir yang kini di bawah kendali Ikhwani, saat ini lebih waspada dalam mengamankan objek-objek wisata peninggalan Firaun yang menjadi sumber divisa negara. Sebab pada titik yang paling ekstrem, praktik salafisme dapat mewujud dalam bentuk aksi Taliban yang berhari-hari meroket patung Bamiyan di Afghanistan sana.
Muslim Indonesia semoga tak ingin corak keberagaan seperti itu mendominasi bumi Indonesia. Namun kalau membaca laporan-laporan sarjana macam Antony Bubalo dan Greg Fealy (misalnya Between the Global and the Local: Islamism, The Middle East, and Indonesia, 2005) saya kira kita sedikit perlu lebih waspada. Jika tingkat toleransi pemerintah dan Muslim arus utama Indonesia cukup tinggi terhadap aksi-aksi koboi ala salafi, cepat atau lambat wajah Islam Indonesia akan berubah.
Penulis adalah dosen di Universitas Paramadina dan Pengamat Timur Tengah
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...