Akar Terorisme Adalah Ketidakadilan?
SATUHARAPAN.COM-Menarik menyimak kesimpulan Bukhori Yusuf, salah satu politisi partai PKS yang mengatakan bahwa terorisme disebabkan oleh adanya ketidakadilan. Sang elite politik yang juga anggota DPR itu mengatakan: "Dalam kaitannya, terorisme dan radikalisme menurut saya pemicu terbesarnya itu adalah ketidakadilan dalam kehidupan, dalam kesejahteraan dan kesenjangan dalam mengakses kesempatan" (detiknews 30 Maret 2021).
Komentar di atas menimbulkan tanya: apakah ketidakadilan adalah akar penyulut terorisme? Kalau benar ketidakadilan adalah penyebab terorisme, siapa saja yang berpotensi menjadi pelaku utamanya? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di pikiran disertai penyesalan tidak ada satu pun komentarnya memberi penguatan dan penghiburan terhadap para korban. Apakah politisi kita mengalami defisit empatil? Semoga saja itu hanya karena “kecerobohan” wartawan yang tidak memuatnya.
Pada satu sisi, kita harus katakan bahwa memang benar terdapat kesenjangan yang cukup besar dalam lapisan sosial-ekonomi kita. Yang kaya makin kaya, sementara yang miskin makin miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio gini hingga Maret 2020 mencapai 0,381 poin, naik dari pengumuman terakhir pada Maret 2020 yang sebesar 0,38 poin. Meskipun demikian, akumulasi ketimpangan ekonomi 0,381 ini masih masih lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya.
Ketimpangan tertinggi sejak delapan tahun terakhir, tercatat pada September 2014 dengan posisi 0,414 poin. Angkanya terus turun ke posisi terendah pada September 2019 dengan 0,38 poin. (Tempo 15 Juli 2020). Artinya, betapa pun masih terdapat kesenjangan sosial ekonomi, kerja keras Presiden Jokowi dan kabinetnya telah mengahasilkan perkembangan positif yang patut dihargai.
Pada sisi lain, mengatakan bahwa terorisme muncul karena adanya ketidakadilan, kesejahteraan dan karena adanya kesenjangan bisa ditafsir seolah sedang menuding pelaku terorisme itu ke arah masyarakat 'bawah', kaum akar rumput alias rakyat miskin. Seolah masyarakat kecil dan rakyat jelata itu manusia biadab yang tidak mampu mengungkapkan aspirasinya secara beradab sesuai dengan koridor hukum dan sesuai dengan fatsun politik bangsa kita. Ucapan itu bisa disebut blamingthevictim, suatu sikap yang justru menyalahkan korban. Bila benar itu terjadi, ucapan petinggi partai ini secara moral sangat tidak patut. Tidak etis!
Motivasi Bisa Beragam
Motivasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme bisa beragam. Bisa muncul oleh karena nafsu terhadap kekuasaan politik dan ekonomi, tetapi bisa juga muncul karena faktor ideologis, baik sekuler maupun yang bersifat agamis. Oleh karena itu, aksi kekerasan dan terorisme ini bisa muncul dari kelas sosial mana saja. Bahkan NoamChomsky, dalam kritiknya terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat, mengatakan aksi terorisme bisa juga dilakukan oleh negara (state terrorism) terhadap negara lain. Hitler dengan Nazi-nya adalah pelaksana state terrorism terhadap Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Myanmar sedang menjadi pelaku state terrorism yang menindas dan melakukan ketidakadilan terhadap bangsanya sendiri. Kita harus waspada karena semua negara, termasuk Indonesia punya potensi untuk itu.
Dari kelas mana saja para teroris berasal? Bisa dari mana saja! Kaum kelas menengah dan orang yang sangat kaya raya pun banyak yang menjadi pelaku dan pendukung terorisme terorisme. Satu keluarga yang menjadi pelaku terorisme di Surabaya, misalnya, secara sosial-ekonomi adalah kaum kelas menengah.
Timothy McVeigh, teroris pelaku pemboman gedung pemerintah di Oklahoma City yang menewaskan 168 orang berasal dari kelas menengah dan disinyalir anggota Kristen fundamentalisme. McVeigh terus-menerus dicekoki dengan indoktrinasi bahwa pemerintah federal Amerika Serikat adalah pemerintahan yang bengis dan tiran. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa pelaku teror atau kekerasan, termasuk bom bunuh diri, bisa berasal dari kelas sosial mana saja, dari kelas bawah sampai kelas elite. Motivasinya pun sangat beragam, dari sekuler sampai agamis. Mereka bukan orang yang sakit jiwa. Mereka manusia sehat yang bahkan sering manusia yang sangat rohaniah.
Bila ucapan elite partai Bukhori Yusuf tidak dimaksudkan untuk menuding masyarakat kelas bawah sebagai biang terorisme, kita masih bisa bersyukur. Kita hanya berharap komentar politisi kita bisa disampaikan dengan lebih cerdas. Kita juga berharap komentar para elite politik, dari partai mana pun, bukan konsumsi politik yang memanfaatkan momentum untuk mengeritik pemerintah. Bila ini yang terjadi, maka elite politik kita sungguh tidak bemoral karena mengutamakan kepentingan politik partisanship daripada kepentingan bangsa.
Pada saat tragedi seperti ini, masyarakat kecil di akar rumput lebih membutuhkan sikap yang tulus dan non-partisan para elite politik (dan tentu saja para pemuka agama). Apa yang lebih dibutuhkan adalah kata-kata penghiburan dan penguatan terhadap korban, siapa pun korbannya. Apa yang dibutuhkan adalah komentar yang berisi pengakuan terhadap kerapuhan kita bersama dan tekad untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan kita sebagai saudara sebangsa.
Editor : Sabar Subekti
Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, Dipecat oleh Parlemen
SEOUL, SATUHARAPAN.COM-Majelis Nasional Korea Selatan pada hari Sabtu (14/12) melalui pemungutan sua...