Gaungkan Revolusi Mental Dalam Vaksinasi COVID-19
SATUHARAPAN.COM - Sempat terucap dalam wacana publik bahwa penemuan vaksin adalah game changer, yang akan mengubah situasi menjadi pemenang atau dikalahkan oleh pandemi yang merajalela ini. Vaksinasi merupakan upaya medis yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menghadang supaya penyebaran virus tidak semakin menjadi-jadi. Seolah berkejaran dengan waktu untuk mencapai target sekitar 181,5 juta atau sekitar 70% dari penduduk Indonesia yang harus divaksin untuk tercapai herd immunity atau kekebalan kelompok. Sementara hingga kini, yaitu akhir Maret 2021 diprediksi masih sekitar 6 juta orang yang sudah menikmati vaksin.
Namun kendala di lapangan masih ditemukan terkait dengan proses pendataan, ketersediaan vaksin, persepsi segelintir masyarakat terkait penerimaan vaksin dan sebagainya. Bahkan temuan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mencatatkan persentase warga DKI Jakarta yang menolak vaksin Covid 19 paling tinggi di Indonesia, yakni 33 persen. Disusul Jawa Timur dengan 32 persen, lalu Banten 31 persen. Sementara persentase terendah penolakan untuk divaksin ditemukan di Jawa Tengah, yakni 20 persen. Meskipun komunikasi pemerintah tak putus untuk menegaskan bahwa manfaat vaksinasi adalah terbentuknya Imunogenitas (antibody) maupun efikasi (kemampuan melindungi dari infeksi covid 19) telah diuji dan diteliti dalam uji klinik yang sahih, nampaknya penolakan masih ada. Fakta ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk diintervensi sebagai upaya untuk memenangkan game changer dan melindungi warga masyarakat dari serangan virus yang masih merajalela diseluruh pelosok nusantara.
Gaung Revolusi Mental
Salah satu upaya untuk mendukung vaksinasi adalah membenahi gaya kepemimpinan Indonesia. Upaya ini sesungguhnya jauh sudah ada sebelum pandemi terjadi, yaitu sebuah gerakan dinamakan revolusi mental. Gerakan revolusi mental merupakan gerakan membangun kesadaran baru untuk melayani lebih baik. Untuk memahami makna revolusi mental sejatinya tak perlu melangit dalam pemahaman istilah yang njlimet dan rumit. Revolusi mental menyasar tiga area: pertama, yaitu mengubah mindset atau cara berpikir dari mentalitas priyayi yang mau dilayani diubah berorientasi ke publik atau masyarakat (public service). Pemimpin hadir bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat,
Kedua, yaitu merampingkan struktur. Disadari sepenuhnya bahwa struktur membentuk sistem organisasi, semakin ramping posturnya maka lebih efektif melayani fungsi dan tujuan organisasi. Perampingan struktur bertujuan mencegah hirarki organisasi dan duplikasi fungsi. Perampingan pada ujungnya lebih bersifat horizontal dan fungsional dan mampu secara maksimal melayani kesejahteraan masyarakat luas. Yang ketiga, adalah perubahan kultur, budaya kerja disiplin, bertanggung jawab dan gotong royong ditekankan karena sejalan dengan DNA dan kultur masyarakat kita yang komunal. Gaung revolusi mental ini perlu dijadikan budaya kerja dalam proses vaksinasi sehingga mencakup semua pemangku kepentingan serta elemen masyarakat yang terlibat dan dilibatkan.
Tata Kelola yang Transformasional
Dari perspektif manajemen SDM (Sumber Daya Manusia) proses vaksinasi membutuhkan tata kelola yang luar biasa. Mulai dari proses input yaitu memastikan ketersediaan vaksin, ketersediaan jumlah tenaga vaksinator yang memadahi, proses pendataan yang valid dan terkoordinasi, hingga memperbanyak lokasi penyuntikan hingga menambah waktu dan pelayanan vaksinasi. Semua upaya ini haruslah direncanakan dengan matang dan diimplementasikan dalam proses secara terorganisir dengan lintas sektor dan semua stake holder terkait. Hingga tercapai output kekebalan kelompok yang digadang-gadang akan menjadi strategi pemulihan ekonomi dan penguatan kesehatan masyarakat melawan pandemi. Tata kelola juga mencakup alkes (alat kesehatan), sarpras (sarana dan prasarana) serta insentif kepada para nakes (tenaga kesehatan) sebagai bentuk apresiasi kepada mereka. Tak lupa yang harus diperhatikan adalah memasukkan gaya kepemimpinan merupakan unsur yang diperhatikan dalam proses vaksinasi. Kita ketahui bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Kepemimpinan juga merupakan kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Model kepemimpinan transformasional merupakan proses di mana pemimpin terlibat dengan orang lain dan menciptakan hubungan yang meningkatkan motivasi dan moralitas dalam diri pemimpin dan pengikutnya. Beberapa unsur dari kepemimpinan transformasional yang bisa dikembangkan dalam proses vaksinasi adalah melibatkan para pemimpin agama, pemimpin adat atau masyarakat, para pimpinan lembaga pemerintah dan swasta, serta para akademisi menggunakan pengaruh mengidealkan pemimpin dimana mereka berperan untuk menggerakan dan memobilisasi, sekaligus menjadi aktor utama dan pertama yang menerima vaksin. Keteladanan kesediaan mereka akan diikuti oleh masyarakat.
Motivasi inspirasional dengan memberikan proyeksi masa depan dan harapan yang baik bahwa vaksinasi adalah cara untuk mulai bangkit dari krisis kesehatan dan ekonomi. Melalui stimulasi intelektual yaitu bukti ilmiah, jurnal-jurnal akademik melalui penelitian yang sahih mengenai efektivitas vaksin untuk melindungi, termasuk juga terbuka memberi perhatian masyarakat sebagai subyek, melalui layanan-layanan yang responsif menangani jika ditemukan mispersepsi, ataupun kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) sekecil apapun. Kiranya melalui gaung revolusi mental dan gaya kepemimpinan yang transformasional proses vaksinasi menuju kekebalan kelompok bisa kita capai. Dengan demikian game changer dapat dimenangkan oleh bangsa kita.
Beijing Buka Dua Mausoleum Kaisar Dinasti Ming untuk Umum
BEIJING, SATUHARAPAN.COM - Dua mausoleum kaisar di Beijing baru-baru ini dibuka untuk umum, sehingga...