Akibat Putusan MK, Komisi II Siap Revisi UU Pilkada
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ahmad Riza Patria, mengatakan segera menindaklajuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 dengan merevisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
"Ke depan kita ingin cari solusi buat regulasi jangan dorong orang monopoli. Bisa ke depan dengan bumbung kosong atau minimal 70 persen dukungan. Sehingga, ada 30 persen uang bisa buat pasangan calon kepala daerah lain," kata Riza kepada sejumlah wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Selasa (29/9).
Meski demikian, Riza berharap Mahkamah Konstitusi melakukan konsultasi lebih dahulu dengan para pakar sebelum memutuskan sebuah uji materi undang-undang. "Komisi II DPR RI kalah dengan Mahkamah Konstitusi yang hanya sembilan orang. Harapan kita, Mahkamah Konstitusi sebelum ambil keputusan lebih bijaksana dialog undang pakar dalam rangka kurangi kontroversi," kata Riza.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru. Mereka mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Putusannya, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak periode pertama pada Desember 2015.
"Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hari Selasa (29/9).
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
"Menimbang hak untuk dipilh dan memilih tidak boleh tersandera aturan paling sedkit dua paslon (pasangan calon). Pemilihan harus tetap dilaksanakan meski hanya ada satu paslon," ujar hakim Suhartoyo.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...