Putusan MK Soal Calon Tunggal Pilkada, Sisakan Masalah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Arteria Dahlan, menilai putusan Mahkamah Konstitusi terkait calon tunggal dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2015 menyisakan masalah dalam menghasilkan pemimpin yang dipilih oleh rakyat.
"Putusan ini masih menyisakan permasalahan. Persoalannya, kalau banyak pemilih tidak setuju maka pilkada tersebut harus ditunda ke periode selanjutnya. Artinya, tetap tidak solutif, harusnya dicarikan rumusan yang memberikan kepastian hukum, dimana dalam situasi terburuk sekalipun akan melahirkan pemimpin, tanpa perlu menunggu pagelaran pilkada serentak selanjutnya," kata Arteria kepada sejumlah wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, hari Selasa (29/9).
Dia pun mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebuti harus ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan merubah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur soal pencalonan kepala daerah.
"Solusinya harus bisa ter-cover di PKPU. Artinya, KPU harus revisi PKPU pascaputusan Mahkamah Konstitusi demi memastikan hak memilih dan dipilih rakyat tidak tertunda,” tutur Arteria.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh pakar komunikasi politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru. Mereka mengajukan uji materi Pasal 49 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 50 ayat (8) dan ayat (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Putusannya, Mahkamah Konstitusi memperbolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak periode pertama pada Desember 2015.
"Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hari Selasa (29/9).
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menilai bahwa undang-undang mengamanatkan pilkada sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah harus menjamin terwujudnya kekuasan tertinggi di tangan rakyat.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menimbang perumusan norma UU Nomor 8 tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi, yang menyebabkan kekosongan hukum. Hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada. Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.
"Menimbang hak untuk dipilh dan memilih tidak boleh tersandera aturan paling sedkit dua paslon (pasangan calon). Pemilihan harus tetap dilaksanakan meski hanya ada satu paslon," ujar hakim Suhartoyo.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...