Aktivis: Mantan Tapol Penerima Grasi Tidak Diperhatikan
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Aktivis dari Koalisi Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Tahanan Politik (Tapol), Narapidana Politik (Napol) Papua menuding pemerintah tidak memperhatikan lima tapol/napol setelah diberikan grasi oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2015.
"Presiden sudah memberikan grasi kepada lima tapol/napol di Lapas Abepura, tapi hingga hari ini atau tiga bulan berlalu, belum juga diperhatikan atau diberikan dukungan biaya kesehatan, rumah, pendidikan dan modal usaha, seperti dijanjikan pemerintah," kata Matius Murib, aktivis pembela HAM independen yang tergabung dalam koalisi HAM Tapol Napol Papua di Kota Jayapura, Kamis (9/7).
Pernyataan Matius Murib itu disampaikan dalam jumpa pers yang dihadiri Marinus Yaung, akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen), Peneas Lokbere dari Bersatu Untuk Keadilan, Paulus Asipalek aktivis Papua, Paul Mambrasar dari Elsham, dan Apotnagolik E Lokobal mewakil eks tapol napol penerima grasi dari Presiden Jokowi.
Ia mengemukakan, tiga eks narapidana politik Papua yaitu Apotnagolik Lokobal, Jafray Murib, dan Kimanus Wenda, masih harus menjalani perawatan intensif demi memulihkan kondisi kesehatan yang dialami selama menjalani hukuman penjara.
"Tetapi terbentur dengan pembiayaan hingga saat ini. Konsep negara hadir yang dikampanyekan Presiden Jokowi untuk Papua harus segera diimplementasikan dalam bentuk bantuan kemanusiaan buat para mantan tahanan politik demi memulihkan martabat, harga diri, dan nilai kemanusian para mantan tapol dan napol," kata Matius Murib.
Hanya saja, dia menambahkan, realita pascapemberian grasi selama tiga bulan belakangan ini masih jauh dari harapan penghormatan dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan itu.
Kenyataan itu menimbulkan pertanyaan apatis, bagaimana dengan nasib 57 tahanan politik di Papua, yang termasuk bagian dari 100 lebih tahanan politik yang masih ditahan di lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia, yang menurut rencana Presiden Jokowi akan membebaskan dengan memberi grasi atau amnesti?
"Dari situasi seperti yang digambarkan diatas, kami mendesak pemerintah, agar segera menjamin kesehatan dan keamanan narapidana politik di tanah Papua,” dia menegaskan.
Grasi adalah kebijakan pengampunan oleh presiden yang tidak didukung dengan aturan, sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah segera merealisasikan janji di depan tahanan politik saat pemberian grasi kepada mereka.
"Kami mengutuk keras politik pencitraan dan keuntungan materi pihak-pihak tertentu di balik pemberian grasi Presiden Jokow,” katanya, sambil menambahkan meminta Gubernur Provinsi Papua memfasilitasi semua kebutuhan narapidana politik Papua.
Ia juga menegaskan Presiden Jokowi seharusnya mengeluarkan surat permintaan maaf kepada semua tahanan Politik di Indonesia.
Tak lupa ia mengimbau masyarakat luas untuk menyaksikan tayangan tentang kesaksian narapidana politik Papua dan pembela HAM di Metro TV lewat program `Kick Andy` pada Jumat 10 Juni pukul 22.00 WIT dan Minggu, 12 Juli 2015, pukul 15.05 WIT. “Terkait kebijakan grasi presiden dan pertanggungjawabannya," katanya. (Ant)
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...