Aku Menulis dan Aku Menangis
Mengenang kepergian Ibu Hj. Solichah binti Dullah Ichwan
Jakarta, Satuharapan.com - Bagi mereka yang pernah berjumpa dengan almarhumah Ibu Hj. Siti Sholichah binti Dullah Ichwan, atau biasa disebut ‘Ibu Djohan’, pasti akan langsung tersirat seorang Ibu yang selalu ingin melayani anak anaknya. Tak peduli anak siapa, anak tokoh terkenal atau biasa, semua diperlakukan tak berbeda dengan anak kandungnya sendiri. Saat berada di tengah Ibu yang telah berumur 70 tahun ini, orang akan begitu merasakan kehangatannya.
Ketika mereka datang Ibu selalu dengan kuat berusaha mengingat nama namanya satu persatu. Bukannya Ibu pelupa. Tapi maklum, tamu yang berkunjung menemui suaminya, Djohan Effendi, mantan Mensekneg zaman Gus Dur, boleh dibilang ratusan banyaknya. Meski Ibu sangat dekat dengan wajah anak-anak dan selalu ingat, namun hal tak mudah mengingat semua nama anak-anaknya.
Almarhumah Ibu Hj. SIti Solichach [Foto-foto: ISTIMEWA]
Mungkin banyak pembaca tidak begitu mengenal Ibu Sholichah. Ia adalah istri dari Djohan Effendi yang semasa hidupnya selalu mendampingi sang suami kemanapun pergi. Istri yang setia di rumah, punya hobby menjahit dan mencoba menu masakan baru. Boleh dikatakan semasa hidup mereka berdua tidak pernah berpisah. Terhitung semenjak 2 Mei 1970, sejak mahar nikah berupa ‘buku sekoper’ diserahkan kepada gadis desa Purwokerto oleh mantan pacarnya itu.
Dan bila anak-anak mau datang, Ibu selalu gusar bila tidak ada makanan di meja. Selayaknya seorang Ibu bertanya, Nak, mau dimasakin apa. Tentu saja kita yang tidak pernah jadi anaknya pun, ketika dengar pertanyaan seperti ini, langsung terasa hangat, bagai dalam dekapan seorang Ibu.
Ibu dan pak Djohan termasuk orang yang pintar menyembunyikan kondisi mereka kepada anak-anak. Namun ketika anak-anak tahu Bapak atau Ibu membutuhkan sesuatu, boleh dikatakan mereka saling berebut memenuhinya. Namun Ibu selalu saja pintar mengatur hati anak-anaknya agar tidak kecewa. Ibu membagi peran anak-anaknya, tanpa harus mereka mengetahui. Takut anak-anak tersinggung, katanya.
Ibu memiliki tiga anak kandung: Winda, Nona dan Doda panggilannya. Ketiganya sudah tahu, bahwa Bapak dan Ibunya adalah milik banyak orang. Ketiga anak kandungnya sampai bilang: Mama dan Papa itu anak kandungnya ada dua, ‘satu, kami yang terlahir dari Rahim’ dan ‘kedua yang terlahir dari hati’. Ketiganya telah terbiasa melihat kedua orang tuanya di kelilingi anak-anak intelektualnya.
Pak Djohan Effendi menanti saat-saat terakhir istri yang dicintainya
Sedari dulu rumah Pak Djohan adalah bukan rumah yang sepi. Sejak mulai menjajaki kehidupannya di Jakarta, rumah Pak Djohan adalah tempat berdiskusi, dan terbayang Ibu Solichah yang selalu sigap melayani anak anaknya yang datang. Beliau adalah gadis desa sederhana dari kota Purwokerto yang selalu berada di rumah mengasuh anak-anaknya saat suaminya bertugas dalam dinas sebagai aktivis dan birokrat.
Kelembutan dan pelayanannya akan terasa akrab di telinga kita bila mendekat dengannya. Ibu adalah perempuan yang suka menjahit dan mencoba menu baru untuk dimasaknya. Dari tangannya banyak menu kreasi tercipta, dan itu semakin membuat betah anak anak nya yang datang ke rumah. Beberapa anak sering menanyakan resep masakan, meski selalu bilang koq beda rasanya sama Ibu. Memang benar peribahasa yang menyatakan ‘lain tangan lain rasa’. Bahkan cucunya Yasmin dari anak ke duanya selalu berujar kepada Ibunya: Ma, kapan kita makan masakan Nenek. Bahkan menjelang hari terakhir, beliau masih tetap menyiapkan berbagai bumbu, jika tiba tiba anak anaknya datang kerumah. Orang yang membantu di rumah biasa segera memasak dengan didampingi Ibu.
Kemarin kami semua anak anaknya, baru saja beriringan mengantar Ibu ke San Diego Hills, menuju peristirahatan terakhir. Tak ada yang bisa menahan raut muka akan kehilangan. Iringan itu bersama air mata dan isak tangis. Serasa ada yang hilang Ramadhan tahun ini, karena kami tanpa Ibu. Sudah terbayang, Ramadhan yang biasanya dipenuhi makanan Ibu, semua akan tertinggal di San Diego Hills. Maklum saja setiap bulan Ramadhan berbagai aktivis dari berbagai agama berkumpul memaknai Ramadhan di rumah beliau.
Saat melepas iringan dari Rumah Duka RS Carolus menuju San Diego Hills. Bapak dengan menahan segenap hatinya mengungkapkan kata cinta terakhir untuk kekasihnya. Ungkapan yang tak pernah Bapak ucapkan, karena lebih sering memperlihatkan ketegaran di mata anak anaknya, agar kuat berjuang. Baru ini yang pertama, mendengar pujian mesra dari Bapak. Sebenarnya Bapak dan Ibu akan mencapai Ulang Tahun perkawinannya yang ke 46, tepat di hari ini (2 Mei). Tetapi takdir menentukan lain.
Melepas sang istri
Karena kami tahu cinta mereka berdua tidak pernah diungkap di depan kami. Bapak dan Ibu selalu punya cara membuktikan kekuatan cinta dalam biduk rumah tangga, dengan menguatkan perjuangan anak-anaknya. Dan saat melepas Ibu, keindahan kata berurai dari Bapak dengan kata sederhana: ‘Ibu sangat cantik. Cantik hati, sikap dan wajahnya’. Sontak kami semua anaknya terdiam dalam sepi, uraian air mata hangat tanpa kata kata, karena akhirnya kami bisa mendengar dalamnya cinta mereka. Sambil Bapak terus menatap pada jenazah Ibu, tatapan dari hati, cinta sejati yang dibawa dalam alam berbeda.
Selamat Jalan Ibu. Terima kasih karena Ibu yang telah mengajarkan kami untuk selalu setia, membangun komitmen jangka panjang dalam cinta, berjuang dan berkarya.
Ada juga berita bagus untuk Ibu. Sekarang Bapak dan kami anak-anak akan punya tempat diskusi baru di tengah taman San Diego Hills yang asri. Kami akan selalu singgahi untuk melepas kangen padamu di sini.
Penulis adalah aktivis Satgas Perlindungan Anak, salah satu anak rohani Bapak Djohan Effendi.
Editor : Trisno S Sutanto
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...